Selasa, 30 Juli 2013

Lonely Winter: Stupid Drama

Juli.
Aku mengangkat handphoneku yang berdering sejak tadi. Rupanya Cleva menelpon.

"Halo?" 
"Halo, Rig. Lo lagi di mana?" Melalui telepon aku bisa mendengar suara bising di sekitar Cleva.
"Gue di rumah, Clev. Kenapa?"
"Sibuk nggak, Rig?"
"Kenapa dulu?"
"Main yuk?"
"Main? Emang lo lagi dimana?" 
"Di stasiun deket rumah lo. Hahaha,"
"Hah? Stasiun Bromo? Ngapain? Lo sendirian lagi?"
"Iya, gue sendirian. Lo kesini dong," ucap Cleva

Sejenak aku ragu. Apa aku harus menemuinya? Tidak. Malas rasanya untuk pergi ke stasiun. Aku sedang tidak ingin berpanas-panasan di jalan. Belum lagi lalu lintas yang tersendat di pasar. Aku rasa ini cukup sebagai alasan untuk tidak menemui Cleva.


"Maaf, Clev. Gue gak bisa. Gue sibuk di rumah,"
"Oh begitu ya?" Nada bicara Cleva berubah.
"Emm.. yaudah deh, Rig. Gue jalan-jalan lagi aja. Daaah," Cleva memutus teleponnya.

Beberapa menit berlalu. Pikiranku tertuju pada perempuan yang baru saja meneleponku. Seorang perempuan yang ingin menemuiku.

Sejurus kemudian, aku mengirim pesan singkat untuk Cleva. 
"Tunggu gue," sent. Sesuatu memaksaku untuk mengirim pesan itu. Tubuhku serasa bergerak sendiri untuk bertemu dengan Cleva.

***
Sesampainya di stasiun, aku segera mencari seseorang yang tadi memintaku datang. Di tengah kerumunan penumpang, aku tidak bisa menemukannya.  Hingga ku rasakan tepukan dibahuku membuatku terkejut. Aku tidak langsung menoleh. Aku tau jika menoleh, aku mungkin akan terhipnotis dan barang-barang berhargaku akan dicuri.

Panik. Kondisiku terancam. Di tengah kepanikanku, aku merasakan tepukan itu sekali lagi. Kali ini dibarengi dengan suara.
suara yang belum lama ini aku dengar.


"Hai, Rig," rupanya Cleva.
"Eh, Cleva.. ngaggetin aja,"
gadis itu tersenyum.


"Lo kenapa masih di sini, Clev?"
"Kan lo nyuruh gue nungguin elo, Gimana sih?"
"oh iya ya. Eh ngobrolnya jangan di sini. Kita cari tempat makan aja,"
"Oke,"

Aku segera mengantarnya ke warung makan favoritku. lokasinya tidak terlalu jauh dari stasiun. Jaraknya sekitar 150 meter dari pintu masuk. Biasanya aku kesini dengan teman-temanku. Harga yang murah dan suasana yang sejuk membuatku betah di tempat ini.

"Mau pesan apa, Clev?"
"Jus melon aja,"
"Makanannya?"
"Nggak usah. Gue nggak laper, Rig,"

Aku menandai Jus melon dan Jus alpukat di daftar menu. Saat ini aku pun tidak merasa lapar.

"Jadi lo ngapain ke sini, Clev?" Aku membuka pembicaraan.
"Jalan-jalan seperti biasa, Rig," 
"Mau kemana?"
"Nggak tau. Cuma jalan-jalan aja. Gue suka ke tempat-tempat baru," 
"Kenapa nggak ngajak temen? Lo kan cewek, apa gak takut jalan sendirian?"
"Awalnya sih takut. Tapi lama-lama asik. Gue bisa menikmati waktu sendirian gue. Lo harus coba, Rig,"
"Lalu kalau sendirian biasanya lo mikirin apa?"
"gue pikir gue bisa ngajak lo," Lagi-lagi perempuan itu membuatku bingung.


"... kenapa lo mau ngajak gue?"
Aku mulai berhati-hati.
"Soalnya asik kalau kita bisa pergi sama-sama. Ada banyak tempat yang mau gue tunjukin. Terus kita bisa.." Cleva terlihat bersemangat.

"Cleva, lo ngerti gak sih? Gue tuh udah punya pacar!" Aku memotong ucapannya dengan sesuatu yang membuatku yakin akan menyesali ini.
"Gue gak bisa jalan cuma berdua sama lo lagi. Gue gak mau bikin orang yang gue sayang cemburu, Clev," aku tidak percaya dengan ucapanku sendiri.
Siapa yang sebenarnya aku sayangi? Hanya pacar khayalan. Siapa yang sebenarnya sedang aku buat cemburu? Aku melangkah terlalu jauh dalam sandiwara bodohku sendiri.
Gadis itu kini terdiam menatapku. Senyumnya perlahan pudar.

"Lo pasti ngerti 'kan perasaan gue? Gue gak mau ngekhianatin pacar gue,"  
"Iya, gue ngerti kok, Rig," Cleva tersenyum. Entah untuk memperbaiki keadaan atau hanya untuk menegarkan dirinya atas semua kebohonganku.

Bagaimana dia masih bisa tersenyum dalam kondisi begini? Apa itu hanya senyum palsu? Aku tidak tau. Aku sama sekali tidak tau. Aku tidak mengerti perempuan ini.
"Maaf, Rig. Gue gak bermaksud ngerusak hubungan lo. Gue ngerti kok, lo mau ngejaga perasaan pasangan lo. Itu sifat yang baik. Yang gue gak ngerti, kenapa lo ngebohongin perasaan lo sendiri?" Cleva menatapku penuh tanya.
Aku terkejut mendengar ucapannya. Apa dia membaca pikiranku? Apa dia tau kebohonganku?

"Ngebohongin diri sendiri? Apa maksud lo?" 
"Ya.. itu cuma perasaan gue sih. Menurut gue lo ngebohongin diri sendiri," 
"Dalam hal apa gue bohong?"
Cleva tidak menjawab. Dia masih menatapku.
"Itu cuma perasaan lo 'kan? Jangan sok tau tentang gue, Clev!"  
Berapa kali sudah batinku menjerit. Aku tidak bisa menghentikan ucapanku. 


"Tapi.."
"Cukup, Clev. Jangan ngomong lagi... tolong," 
Aku ingin segera mengakhiri ini. Aku tidak ingin menyakitinya.


"Lo tau, Rig?" Gadis itu memulai pembicaraan lagi. Suaranya terdengar pelan.
"Waktu pertama kali kita ketemu dulu.. gue seneng banget. Lo mau ikut gue walau pun cuma jalan ke mall dan gak ngapa-ngapain. Kalau jalan-jalan gue emang sering gak ada tujuan. Makanya gue suka jalan-jalan sendirian. Bukan karena gue gak punya teman. Gue hanya suka sendirian. Gara-gara itu kadang temen-temen gue menganggap gue aneh. Lo mungkin juga begitu. Hahaha," Cleva tertawa kecil.

"Waktu lo cerita tentang mimpi itu, gue ngerasa spesial. Aneh memang lo mimpi ketemu gue padahal kita belum saling mengenal. Tapi mimpi itu jadi sesuatu yang berarti buat gue," lanjutnya.
"Cleva... maaf," hanya ini yang bisa kuucapkan saat ini.

"hm? Kenapa minta maaf? Kan gue yang salah. Maaf ya, Rig. Gue udah  mencampuri urusan lo," 
"Clev.."
"Rig, maafin diri lo sendiri. Mungkin sekarang lo ngerasa bersalah. Tapi tenanglah.. gue nggak apa-apa kok," Cleva kembali tersenyum. Senyuman yang seolah berbisik semua akan baik-baik saja.

Sepulang dari stasiun perasaanku kacau. Apa yang telah aku lakukan? Aku menyakiti perasaan Cleva. Aku tau untuk menyakiti orang lain, aku harus menyakiti diri sendiri. Itulah rasa bersalah yang kini menyerangku bersama umpatan nurani. Memang inilah yang pantas aku dapatkan. Ya, aku pantas menerimanya.
"Maafin diri lo sendiri, Rig," kata-kata Cleva terngiang begitu saja. Kata-kata yang dia ucapkan untuk membuatku tenang. Nyatanya justru membuatku makin merasa bersalah. Perasaan bersalah yang akan melekat di hati. Entah sampai kapan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented