Senin, 29 Juli 2013

Lonely Winter: Tears

Beberapa minggu berlalu. Aku mulai sibuk dengan urusanku di sekolah. Ulangan harian, tugas, dan persiapan ujian menjagaku tetap sibuk di rumah. Dan Cleva? Aku masih berkomunikasi dengannya. Tentu saja melalui dunia maya.
Sejak pertemuan terakhir kami, aku memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan Cleva. Aku coba menolak kehadirannya dalam keseharianku. Karena... entahlah. Aku tidak tau kenapa. Aku rasa aku hanya harus menjauh darinya.
Namun seiring berjalannya waktu aku justru semakin sering berkomunikasi dengan Cleva.
Awalnya aku berusaha tak acuh setiap kami chatting di situs jejaring sosial, tapi Cleva seolah tetap memaksaku meladeninya. Membuatku ingin menjawab pertanyaan-pertanyaannya.  Sesekali aku menganggap dia pengganggu. Dia menghilangkan semangatku untuk belajar. Menggantinya dengan keinginan untuk selalu bicara dengannya. Dia pikir dia siapa? bagiku dia hanya pengganggu.

Dalam obrolan kami, aku lebih sering menjawab singkat. Berharap dia segera bosan. Aku pikir ini akan menjauhkan dia dariku. Seperti yang biasa dilakukan pasangan yang mau mengakhiri hubungan.
Tapi kenyataannya Cleva tidak berubah. Aku tetap melihat perempuan itu tersenyum melalui  fitur webcam. Aneh. Aku tidak mengerti Cleva. Kebanyakan orang akan malas bila sudah diperlakukan seperti ini. Kenapa Cleva tidak?
Aku memikirkan kembali semua yang sudah aku lalui dengannya. Dari mulai perjalanan kami hingga segala keanehan gadis itu yang akhir-akhir ini membuatku risih. Dia menghubungiku hampir setiap hari. Bercerita tentang apa pun yang dia alami. Tentu saja kebanyakan adalah hal-hal yang menurutku tidak penting. Aku rasa dia sedang melakukan pendekatan denganku.
Meski dia adalah seorang perempuan yang terbilang spesial, yang  aku temui dalam mimpi, aku tidak ingin bersamanya. Dia terlalu aneh. Terlalu sulit untuk aku pahami.
Namun lebih dari itu rasanya ada sesuatu yang  mengharuskan aku menjauh darinya. Sesuatu yang memaksaku memutuskan untuk menghentikan aksi pendekatannya dan membuat dia benar-benar menjauh.
Suatu ketika aku kembali chatting dengannya.

"Cleva," aku menyapanya lebih dulu.
Tak butuh waktu lama bagi dia untuk membalas.
"Hai, Rig. Tumben nyapa duluan,"
"Iya. Lo lagi ngapain, Clev?"
"Cuma internetan sih. Oiya, Rig, tadi gue jalan-jalan ke tempat pemandian air panas," Cleva mulai bercerita.
"Tempatnya bagus loh. Ada bukit kapurnya. Terus di sana udaranya sejuk masih banyak pohon," tambahnya.
"Lo ngapain kesana?" setengah hati aku menanggapinya.
"Jalan-jalan doang,"
"Nggak sekalian mandi?"
"Nggak. Gue tadi dateng sendiri doang, Rig,"
"Kenapa sendirian lagi?"
"Lagi kepengen aja. Lain kali lo ikut ya, Rig? Pasti seru deh," Ini dia hal yang membuatku agak risih. Cleva melancarkan aksi pendekatannya.

"Nanti kita naik ke atas bukitnya. Di sana pemandangannya bagus. Lo pasti suka," Cleva masih lanjut bercerita.
Sebelum Cleva terlalu panjang bercerita dan memaksaku meladeninya, aku harus menghentikannya.

"Cleva, kayaknya gue gak bisa jalan berdua bareng lo lagi deh,"
"Loh? Kenapa, Rig?"
"Emm... Maaf ya, Clev,"
"Kenapa minta maaf?"
"Emm.. Cleva, gue udah jadian,"
ini dia strategiku untuk memaksanya menjauh. Dengan pengakuan palsuku ini, aku yakin dia tidak akan mendekatiku lagi.
Memang rasanya aku berbuat jahat padanya, namun inilah yang harus aku lakukan.

"Oh begitu," balasnya setelah agak lama.
Meski hanya tulisan aku seolah bisa mendengarnya secara langsung.
"Selamat ya, Rig :D semoga langgeng. Traktir gue kapan-kapan ya. Hahaha," Cleva melanjutkan.
Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena sedang tidak memakai fitur webcam. Hanya bisa menerka dan membayangkan nada bicara lawan chatting ku ini.

"Lo nggak pengen tau sama siapa? Atau kapan gue jadian, Clev?" Aku ingin memastikan reaksinya barusan.
"Buat apa? Itu kan urusan pribadi lo, Rig. Gue sih mau traktirannya aja. Ahaha," 
Aku benar-benar tidak tau dia jujur atau tidak. Aku menduga ada rasa cemburu di hati Cleva. Rasa cemburu yang akan membuatnya menjauh dariku.


"Berarti lo nepatin janji sama gue ya,"
"Janji?" 
"Janji gak boleh jatuh cinta yang dulu itu loh," Jelasnya.

Janji itu..  Itu dia! Aku berusaha menjauh darinya karena ini. Aku sudah melupakan janji itu namun entah bagaimana tubuhku memaksaku untuk menepati janji tanpa alasan itu. Janji konyol yang menutup hatiku untuk Cleva. Menjadi alasan utama atas perlakuanku padanya akhir-akhir ini.

"Oh iya hehehe. Gue dapet apa nih?" kini aku lebih canggung untuk membalas pesannya. Aku sibuk memikirkan janji itu.
"Dapet pacar, Rig. Dijaga ya pacarnya. Jangan dibiarin jalan-jalan sendirian," 
"Hahaha, iya. Tenang aja,"
"Eh Rig, tadi gue bikin puisi loh. Lo mau baca gak?" Aku rasa Cleva mengalihkan pembicaraan.


"Boleh, Clev,"
"Tears


Tetesan pertama air matamu
Menandakan akan ada yang hilang dari dunia ini.


Tetesan kedua yang berhenti di pipimu.
Adalah jeritan yang tak pernah ingin aku dengar.


Tetesan ketiga yang bebas terjatuh.
Bukanlah kata cinta yang sempat aku umbar.


Tetesan keempat yang tiba di bibirmu.
Adalah kenangan jingga yang tak sempat aku lalui.


Tetesan kelima dan seterusnya.
Adalah hari-hari kelabu dimana aku tidak bisa mengucapkan "aku mencintaimu"


Tetesan terakhir dari air matamu.
Aku berdoa agar kau dapat melupakanku.


Dan semua jejak air matamu yang mengering.
adalah dera lonceng terakhir yang akan mengantar kepergianku,"


Aku membaca puisi itu. Terasa olehku sesak di hati. 
Kesedihan dalam setiap baitnya. Ini bukan sekedar puisi tentang cinta. Sesuatu yang lebih dari itu. Bagiku semacam penyesalan.

Apa dia menyesal karena terlambat mengungkapkan isi hatinya? Aku tidak tau. Yang jelas saat ini dia membuatku menyesali keputusanku menjauh darinya.

Yang aku tidak habis pikir adalah, kenapa Cleva mengirim puisi itu di saat seperti ini? Di saat aku memberitahunya bahwa aku telah memiliki pasangan. Apa ini benar ungkapan perasaannya padaku? 
Aku sama sekali tidak tau. Pikiranku kacau.

Jika puisi adalah ungkapan isi hati, mungkin memang inilah perasaannya. Bait ke 5 tentang cinta. Aku yakin.

"Gimana? Bagus gak, Rig?" Cleva kembali bertanya 
"Bagus banget, Clev. Itu buat siapa?" 
"Hmm.. nggak tau, Rig. Gue cuma nulis aja,"
"Lo suka bikin puisi?" 
"Nggak, itu gue iseng doang. Kebetulan aja jadinya begitu. Haha,"

Ya, kebetulan pula dia coba ungkapkan saat ini. Membuktikan bahwa dia memiliki rasa denganku.

"Bagus kok, Clev,"
"Makasih, Rig :)"
"Dapet inspirasi dari mana?"
"Dari elo," jawabnya singkat.

Deg!  Kenapa perempuan ini terlalu jujur? Berbeda dengan perempuan lain. Mereka tidak mungkin menjawab pertanyaan itu secara langsung. Mungkin iya tapi tidak secepat jawaban Cleva. Aku yakin mereka akan memilih untuk berbohong dan menutupi perasaannya. Mereka butuh waktu untuk jujur. Terutama dalam kondisi yang mungkin sedang membuat mereka kecewa. Kenapa Cleva tidak? Apa dia sengaja ingin membuatku menyesal karena tidak memilihnya?

"Dari gue? Maksudnya apa, Clev?"
"Akhir-akhir ini gue mikirin elo, Rig. Dan tiba-tiba gue kepikiran bikin puisi itu,"

Cleva mementahkan usahaku untuk menjauh darinya. Nyatanya sekarang aku malah makin dekat dengannya. Dia mengungkapkan isi hati melalui sebuah puisi. Walau ingin, tidak mungkin aku membalasnya. Tidak setelah aku bilang telah berpacaran.

"Cleva, makasih banyak. Maaf ya, tapi kita harus menjauh," 
Hanya ini yang aku pikirkan untuk membalas pesannya
"Kenapa harus menjauh?" 
"Karena gue gak mau ngebuat cewek gue cemburu," aku tidak percaya dengan jawabanku.

Bodoh! Kenapa aku berbohong? Kenapa aku menginginkan dia menjauh? Tak ada alasan apa pun kecuali janji itu.
"Iya, gue ngerti kok. Hahaha," 
Apa itu tawa sungguhan? Aku rasa tidak. Obrolan kami malam ini membuatku berpikir berulang kali. Batinku terus mencaci apa yang telah aku lakukan pada Cleva. Aku benar-benar bodoh.
Kini aku terjebak dalam permainan cinta tak nyataku sendiri. Permainan yang menjauhkanku dari orang yang sebenarnya aku cintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented