Senin, 30 Desember 2013

How to love MATH

Assalamu'alaikum, blogs!

Gue gak mau basa-basi dulu ah. Udah mau 2014.

Blogs! Udah baca judulnya? Bagus. Karena itu yang akan gue bahas kali ini. "How to love Math" tentunya dengan versi gue tanpa mengutip buku motivasi, journal, diary, majalah, katalog barang kecantikan atau pun brosur Superindo. Oke, langsung aja ya.

MATEMATIKA
ada yang phobia atau paranoid dengan kata itu?
Ada yang langsung bete ketika mendengarnya?
Atau ada yang langsung kepingin bunuh diri begitu mempelajarinya?

Tunggu, kalian tau gak matematika itu apa?
"Sejenis kacang-kacangan, dit."
"nama mahluk buas di dasar laut!"
"Bencana, dit!"
"mateMATIka."
-___-

Sekitar 15 tahun loh kalian belajar begituan dari yang disuruh ngitung buah-buahan di TK sampe cacing-cacingan di bangku kuliah. Masa gak tau definisi matematika? Matematika itu... pelajaran berhitung. Itu definisi gue. Tanpa google.

Apa cuma sekedar berhitung? Tentu tidak. Matematika melemparkan bermilyar-milyar masalah ke hadapan kita. Dari masalah di setiap soalnya hingga masalah yang timbul bila kita tidak bisa mengerjakan soal-soalnya (re: nilai jelek). Dalam soal-soal yang disodorkan di depan kita, kita dituntut mencari jalan keluar atau penyelesaiannya dengan cara yang masuk akal.  Ngeselin ya? Dia yang punya masalah kita yang disuruh menyelesaikan -_-.

Kebanyakan orang akan frustasi dengan Matematika. Alasannya? Sebuah jawaban berupa pertanyaan, "buat apa kita belajar matematika ribet-ribet kalau ilmunya gak dipakai nantinya?"
Kalian mikir gitu, nggak? Gue, sih, nggak. Kenapa? Karena tujuan kita belajar matematika itu bukan ilmunya yg pake rumus bejibun mulai dari luas, volume, sin cos tan, limit, integral dan cecunguk-cecunguknya itu. Tapi kita disuruh menyelesaikan masalah dengan sekreatif mungkin dengan syarat pake rumus.

Otak kita bakalan disetting untuk mencari jalan keluar dari tekanan masalah yg kita hadapi. Nah, menurut gue, ini melatih kita buat menghadapi masalah di masa depan. Walaupun konteksnya beda. Di masa depan, kita emang gak perlu menyelesaikan masalah rumah tangga pake rumus trigonometri. Masalah hak waris serta keturunan juga gak perlu pake differensial dan integral. Kalau kalian menyelesaikan masalah itu beneran pake rumus, kalian freak -__-.

Gue melihat hasil belajar  matematika itu pada mental kita. Biar gak ngeluh dan gampang nyerah begitu ada masalah. Mencari jalan keluar secara bertahap  dan masuk akal. Kenapa masuk akal? Karena ini logika. Jadi kalian gak gampang pergi ke dukun. Dukun itu orang pintar, tapi gue rasa mereka gak jago matematika.

Setelah tau tujuannya, sekarang cara menaklukkan si pembawa wabah frustasi, Matematika. Tadi gue udah menyebutkan, matematika menjejali kita dengan segudang masalahnya yang rumit bin ngerepotin. tapi kaliah jangan pernah anggap itu sebagai masalah. Anggap itu sebagai bencana, monster, zombie, musuh bebuyutan kakek-nenek kalian yang hidup kembali pake edo tensei orochimaru, atau apa pun yang ngebuat kalian ngerasa tertantang.

Kalau gue sih anggapnya monster. Soalnya gue pernah jadi seorang gamer yang demen banget ngebunuh monster. Waktu gue jadi gamer dulu, gue gak suka matematika. Actually,  hampir semua pealajaran gak gue suka. Bahkan gue gak suka sekolah. Gue sering pura-pura sakit kalau di bangunin mama buat sekolah, pura-pura sakit biar ke uks dan dipulangin walaupun harus minum obat atas penyakit palsu yg gue derita. 

Tapi setelah gue tersadarkan dan berhenti dari dunia game, gue mulai belajar biasa aja. Lalu gue menemukan korelasi antara game dan pelajaran. Mereka sama-sama menantang. Kalo di game kita ditantang mendapat kemampuan lebih, sedangkan di pelajaran kita ditantang mendapat ilmu lebih.  Dua-duanya butuh semangat dan pengorbanan waktu.

Selain itu kita juga harus bersaing dengan teman-teman kita. Kita kerucutkan topik tentang pelajaran ini jadi matematika aja ya. Gini, kalian tau kan banyak pelajar yang menganggap matematika itu ilmu yang sulit, kurang kerjaan, rumit, bikin frustasi dan sebagainya?  Bayangin kalau kalian menguasai matematika. Bayangin kalau kalian bisa menguasai ilmu yang rumit  dan nyusahin itu. Ilmu yang gak banyak dikuasai teman-teman kalian bahkan hampir sebagian  pelajar indonesia. It would be awesome, right?

Gue suka tantangan yang gak banyak orang bisa menyelesaikannya. Karena itu gue suka matematika. Gue menganggap "mimpi buruk" sebagian pelajar ini sebagai permainan. Cuma game. Soal-soal yang mengepung gue adalah monster. Gue punya sejata berupa rumus-rumus sederhana yang bisa menjadi dahsyat untuk melawan mereka. Caranya adalah dengan pola pikir gue. Kekreatifan, imajinasi, dan logika gue untuk mencari jalan keluar. Karena matematika itu rumit dan gak banyak yang bisa, itu artinya matematika itu tantangan/quest tingkat tinggi. Kalau bisa gue taklukin rewardnya bakalan besar banget. Selain nilai bagus, tentunya. Rewardnya ya kemampuan kita, pola pikir, mental, dan logika yang meningkat. Syukur-syukur kalau bisa dipake dalam pekerjaan nantinya.

Tau gak? Kalau pola pikir, mental, dan logika meningkat itu akan berdampak ke kreatifitas kita juga yang nantinya berhubungan dengan produktifitas kita dalam bekerja. Dan gak mungkin kalau kita gak ketemu masalah dalam pekerjaan. Pasti ada. Jadi matematika itu ngebuat kita gak gampang tertekan dan ngebuat kita jadi lebih kreatif. Itu sih menurut gue. Dan ini gak berlaku bagi mereka yang putus asa duluan begitu mempelajari matematika. 

Oke, blogs.
itu sudut pandang gue tentang Matematika. Kalian mungkin punya cara dan perspektif sendiri tentang matematika. But for me, it's just a game.

Selamat pagi, blogs~

Kamis, 26 Desember 2013

Love Letter: Analogi

Hai kamu,
Bagaimana kabarmu?
Ah mungkin aku tidak perlu bertanya. Cukup do'a yang selalu aku lantunkan dengan harapan agar kamu baik-baik saja. Jika kamu menanyakan keadaanku, pun aku akan bilang aku baik-baik saja. 

Sebelumnya maaf kalau aku mengganggu. Aku hanya ingin menyampaikan pesan rindu. Tidak masalah kalau kamu tidak mau menerima. Kamu bisa mengacuhkan atau membuang surat ini dan semua selesai. Ya, bagimu.
Rindu ini akan tetap menguap ke udara di sekitarmu. Tak perlu kamu mengenakan masker, ia tidak akan meracuni. Tapi tidak masalah pula jika kamu terlanjur menganggapnya polusi. 
aku tetap akan menyampaikan surat ini.

Kamu ingat saat-saat indah ketika dunia serasa milik berdua? Aku tidak. Karena kita memang tidak pernah berdua. Kita tidak pernah saling memiliki. Tapi aku ingat sebait puisi pagi yang kau buat tentang kita sebagai pemanis dari kopi pahit yang kita pesan di emperan jalan.

Kamu bilang,

"Kita adalah dua yang menyatu.
Kita-lah pondasi yang mencengkram langit.
Kita adalah tawa yang membanjiri tangis.
Kita menjadi karang yang menghantam ombak.
Kita si pemimpi dengan sejuta  ambisi,"

Indah. Tapi sayang ia tidak merubah rasa pahit kopi yang kuminum pagi itu. Hanya bisa membuatku tercengang hingga cangkirku yang tadinya panas kini terasa hangat.

Aku ingat bagaimana sorot matamu menggeledah duniaku saat itu.
Membuatku sesak. Tapi sayang, belum bisa membuatku lupa caranya bernapas. Kalau tidak, aku pasti sudah mati saat ini.

Semenjak saat itu entah bagaimana ada tanaman liar yang tumbuh di dalam hati. Aku tidak tau itu tumbuhan apa, jadi aku namakan saja ia "Cinta".

Aku tidak pernah memberinya pupuk, tapi ia tumbuh subur dalam wadah bernama "hati". Apa kamu yang diam-diam merawatnya? Aku tidak tau. Dan aku tidak peduli. Ia hanya tanaman liar yang mungkin kelak tak aku inginkan.

Lagi pula aku tidak mengerti bentuknya. Akarnya kuat batangnya kokoh tapi tidak berdaun. Ia juga tidak bercabang. Tidak memiliki buah atau pun bunga. Menjulang tinggi hingga aku tidak bisa melihat pucuknya.
Aku tetap membiarkannya.

Kamu tau? Terkadang aku ingin memanjat tanaman liar itu. Ingin kulihat apa yang ada di puncak pohon cinta ini. Sangat ingin. Entah bagaimana aku rasa aku tau apa yang menungguku di atas sana.

Tunggu, bukan apa melainkan siapa. Ya, kamu. Orang yang tanpa sengaja menanamkan benih tanaman bernama "Cinta".

Seiring waktu, aku tekadkan diriku untuk memanjat pohon itu. Kamu pasti tau aku takut ketinggian. Tapi aku yakinkan diriku untuk melihat bahwa kamu-lah yang ada di puncaknya.

Sulit, tak ada sulur yang bisa aku raih. Tak ada ranting yang bisa aku pijak. Ah, masabodo! Aku tetap akan merayap ke puncak.  Demi menjawab rasa penasaranku.

Penuh peluh berbalut luka di tubuhku ketika hampir ku gapai puncaknya. Hanya sesaat ingin kembali kulihat jejak pendakian yang telah kutempuh di dasar pohon ini.

Kamu tau apa yang aku dapati di bawah sana? Itu kamu. Berdiri menyeringai menatapku dengan segenggam kapak di tangan.

Sekali lagi kau buat aku tercengang. Tanpa ampun kamu ayunkan kapak itu. Tanpa menungguku turun kamu tebang pohon itu. Biarkan aku jatuh bersama "Cinta" yang dulu kau tanam.

Sakit? Tentu saja. Jatuh dari ketinggian pasti sakit. Sakit sekali.
Tapi aku tidak dendam padamu. Aku juga tidak benci. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Kalau saja aku tidak punya wadah bernama "Hati", ini pasti tidak akan terjadi. Dengan begitu kamu tidak bisa menanamkan apapun padaku. Tidak akan aku kenal tanaman liar yang kusebut "Cinta". Tidak perlu aku bersusah payah merangkak dan jatuh dari puncaknya.

Tapi semua telah terjadi. Aku tidak peduli. Lupakan saja. Aku memaafkanmu. Sungguh, sepenuh hati aku memaafkanmu.

Oiya, aku lupa bilang. Aku juga menanamkan tanaman di dalam hatimu. Tenang saja, ini bukan tanaman liar. Ia memiliki akar yang kuat, batang yang besar, ranting yang bercabang, memiliki daun, buah, dan bunga yang indah.

Sayang kamu tidak bisa menyentuhnya. Ia berduri, seluruh tubuhnya memiliki racun. Aromanya harum semerbak tapi kamu bakal mati bila menghirupnya.
Aku menyebutnya "Penyesalan".

Tidak sepertimu, aku tidak akan menebangnya. Akan aku biarkan terus tumbuh menjadi pohon yang cantik di hatimu. Terus berbuah manis, berbunga indah. Hingga ia menjadi taman bunga "Penyesalan" yang indah. Kamu akan menjadi satu-satunya kumbang di sana. Indah, bukan? Bak surga pribadi. Kamu pasti senang.

Kamu tidak perlu berterimakasih padaku, aku melakukannya dengan senang hati. Sungguh, sepenuh hati. Aku harap kamu bahagia selamanya.

Baiklah,
Hanya ini yang ingin aku sampaikan dalam suratku kali ini. Maaf bila terlampau panjang dan membuatmu jenuh. Mungkin harusnya kamu buang surat ini begitu tau namaku tertera sebagai pengirimnya. Agar kamu tidak perlu tau analogi Cinta. 

Sesuatu yang membuatku jatuh dan memberimu penyesalan.

Sesuatu yang sanggup menyatukan aku dan kamu menjadi kita, serta memisahkan kita menjadi aku dan kamu.

Suatu tumbuhan langka yang menjulang tinggi tanpa cabang dan tertanam dalam hati yang rapuh.

Sesuatu yang sanggup memerangkap dua semesta di satu langit. Dan sanggup merobek potret diri kita yang utuh menjadi serpihan dalam bingkai yang berbeda.

Mungkin kamu tidak mengerti itu  sekarang. Tidak apa. Sungguh. Aku paham jika memang begitu.

sudah dulu ya..
aku menunggu balasan surat darimu. 

Salam rindu,

------

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented