Kamis, 26 Desember 2013

Love Letter: Analogi

Hai kamu,
Bagaimana kabarmu?
Ah mungkin aku tidak perlu bertanya. Cukup do'a yang selalu aku lantunkan dengan harapan agar kamu baik-baik saja. Jika kamu menanyakan keadaanku, pun aku akan bilang aku baik-baik saja. 

Sebelumnya maaf kalau aku mengganggu. Aku hanya ingin menyampaikan pesan rindu. Tidak masalah kalau kamu tidak mau menerima. Kamu bisa mengacuhkan atau membuang surat ini dan semua selesai. Ya, bagimu.
Rindu ini akan tetap menguap ke udara di sekitarmu. Tak perlu kamu mengenakan masker, ia tidak akan meracuni. Tapi tidak masalah pula jika kamu terlanjur menganggapnya polusi. 
aku tetap akan menyampaikan surat ini.

Kamu ingat saat-saat indah ketika dunia serasa milik berdua? Aku tidak. Karena kita memang tidak pernah berdua. Kita tidak pernah saling memiliki. Tapi aku ingat sebait puisi pagi yang kau buat tentang kita sebagai pemanis dari kopi pahit yang kita pesan di emperan jalan.

Kamu bilang,

"Kita adalah dua yang menyatu.
Kita-lah pondasi yang mencengkram langit.
Kita adalah tawa yang membanjiri tangis.
Kita menjadi karang yang menghantam ombak.
Kita si pemimpi dengan sejuta  ambisi,"

Indah. Tapi sayang ia tidak merubah rasa pahit kopi yang kuminum pagi itu. Hanya bisa membuatku tercengang hingga cangkirku yang tadinya panas kini terasa hangat.

Aku ingat bagaimana sorot matamu menggeledah duniaku saat itu.
Membuatku sesak. Tapi sayang, belum bisa membuatku lupa caranya bernapas. Kalau tidak, aku pasti sudah mati saat ini.

Semenjak saat itu entah bagaimana ada tanaman liar yang tumbuh di dalam hati. Aku tidak tau itu tumbuhan apa, jadi aku namakan saja ia "Cinta".

Aku tidak pernah memberinya pupuk, tapi ia tumbuh subur dalam wadah bernama "hati". Apa kamu yang diam-diam merawatnya? Aku tidak tau. Dan aku tidak peduli. Ia hanya tanaman liar yang mungkin kelak tak aku inginkan.

Lagi pula aku tidak mengerti bentuknya. Akarnya kuat batangnya kokoh tapi tidak berdaun. Ia juga tidak bercabang. Tidak memiliki buah atau pun bunga. Menjulang tinggi hingga aku tidak bisa melihat pucuknya.
Aku tetap membiarkannya.

Kamu tau? Terkadang aku ingin memanjat tanaman liar itu. Ingin kulihat apa yang ada di puncak pohon cinta ini. Sangat ingin. Entah bagaimana aku rasa aku tau apa yang menungguku di atas sana.

Tunggu, bukan apa melainkan siapa. Ya, kamu. Orang yang tanpa sengaja menanamkan benih tanaman bernama "Cinta".

Seiring waktu, aku tekadkan diriku untuk memanjat pohon itu. Kamu pasti tau aku takut ketinggian. Tapi aku yakinkan diriku untuk melihat bahwa kamu-lah yang ada di puncaknya.

Sulit, tak ada sulur yang bisa aku raih. Tak ada ranting yang bisa aku pijak. Ah, masabodo! Aku tetap akan merayap ke puncak.  Demi menjawab rasa penasaranku.

Penuh peluh berbalut luka di tubuhku ketika hampir ku gapai puncaknya. Hanya sesaat ingin kembali kulihat jejak pendakian yang telah kutempuh di dasar pohon ini.

Kamu tau apa yang aku dapati di bawah sana? Itu kamu. Berdiri menyeringai menatapku dengan segenggam kapak di tangan.

Sekali lagi kau buat aku tercengang. Tanpa ampun kamu ayunkan kapak itu. Tanpa menungguku turun kamu tebang pohon itu. Biarkan aku jatuh bersama "Cinta" yang dulu kau tanam.

Sakit? Tentu saja. Jatuh dari ketinggian pasti sakit. Sakit sekali.
Tapi aku tidak dendam padamu. Aku juga tidak benci. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Kalau saja aku tidak punya wadah bernama "Hati", ini pasti tidak akan terjadi. Dengan begitu kamu tidak bisa menanamkan apapun padaku. Tidak akan aku kenal tanaman liar yang kusebut "Cinta". Tidak perlu aku bersusah payah merangkak dan jatuh dari puncaknya.

Tapi semua telah terjadi. Aku tidak peduli. Lupakan saja. Aku memaafkanmu. Sungguh, sepenuh hati aku memaafkanmu.

Oiya, aku lupa bilang. Aku juga menanamkan tanaman di dalam hatimu. Tenang saja, ini bukan tanaman liar. Ia memiliki akar yang kuat, batang yang besar, ranting yang bercabang, memiliki daun, buah, dan bunga yang indah.

Sayang kamu tidak bisa menyentuhnya. Ia berduri, seluruh tubuhnya memiliki racun. Aromanya harum semerbak tapi kamu bakal mati bila menghirupnya.
Aku menyebutnya "Penyesalan".

Tidak sepertimu, aku tidak akan menebangnya. Akan aku biarkan terus tumbuh menjadi pohon yang cantik di hatimu. Terus berbuah manis, berbunga indah. Hingga ia menjadi taman bunga "Penyesalan" yang indah. Kamu akan menjadi satu-satunya kumbang di sana. Indah, bukan? Bak surga pribadi. Kamu pasti senang.

Kamu tidak perlu berterimakasih padaku, aku melakukannya dengan senang hati. Sungguh, sepenuh hati. Aku harap kamu bahagia selamanya.

Baiklah,
Hanya ini yang ingin aku sampaikan dalam suratku kali ini. Maaf bila terlampau panjang dan membuatmu jenuh. Mungkin harusnya kamu buang surat ini begitu tau namaku tertera sebagai pengirimnya. Agar kamu tidak perlu tau analogi Cinta. 

Sesuatu yang membuatku jatuh dan memberimu penyesalan.

Sesuatu yang sanggup menyatukan aku dan kamu menjadi kita, serta memisahkan kita menjadi aku dan kamu.

Suatu tumbuhan langka yang menjulang tinggi tanpa cabang dan tertanam dalam hati yang rapuh.

Sesuatu yang sanggup memerangkap dua semesta di satu langit. Dan sanggup merobek potret diri kita yang utuh menjadi serpihan dalam bingkai yang berbeda.

Mungkin kamu tidak mengerti itu  sekarang. Tidak apa. Sungguh. Aku paham jika memang begitu.

sudah dulu ya..
aku menunggu balasan surat darimu. 

Salam rindu,

------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented