Kamis, 07 Agustus 2014

Cerita Dalam Buku Biru

Napasku memburu. Aku merapatkan punggungku pada pohon tinggi besar di belakangku. Sesekali kusembulkan wajahku dari balik batangnya, mataku tajam waspada menatap sekitar. Mencari sang pemburu.
“Hei, ketemu!” teriak seseorang mengejutkanku. Hampir saja aku dibuat pingsan olehnya.
Suara itu berasal dari atas, dari seseorang yang tengah duduk di ranting-ranting pohon temat aku bersembunyi.
“sial! Aku kalah lagi,”  ucapku, kecewa.
“hahaha.. ini sudah yang kesekian kalinya kamu kalah. Kamu ini payah sekali dalam bersembunyi,” si pemburu merangkak turun dari pohon.
Ia adalah pemanjat ulung. Tanpa kesulitan dan memakan waktu lama dia sudah berpijak di tanah. Setara denganku. Sang pemburu kini membuka kuncir rambutnya, mengibaskan mahkotanya yang terurai bergelombang hingga sebahu.  Penampilannya jadi lebih feminim walau aku tau dia sangat tomboy.

“Ah! Tidak juga. Kamu aja yang selalu bisa menebak dimana aku bersembunyi. Kamu kayak Dukun!”
“Hahaha.. terimaksih pujiannya” Gadis itu tersenyum ramah. Senyum yang sudah berkali-kali aku lihat. Membosankan.
“tapi aku bingung. Bagaimana caranya kamu selalu bisa menemukanku?” tanyaku penasaran.
“Mudah kok. Dari detak jantungmu.”
“Omong kosong..” jawabku ketus.
 “Tidak. Kamu selalu sembunyi di tempat sepi. Detak jantungmu terdengar jelas olehku.. suara hatimu juga,”
Mendengar detak jantung? Aneh. Lebih aneh lagi saat dia mengucapkannya dengan nada datar. Seolah hal ini sudah biasa baginya. Ini memang bukan kali pertamanya dia membuatku bingung. Pertama, penampilannya yang feminim kontras dengan wataknya yang tomboy. Dia senang berpetualang ke tempat-tempat aneh. Entah untuk apa. Lalu kemampuannya dalam memanjat pohon tidak mencerminkan jiwa perempuannya yang anggun. Aku bisa mengerti mungkin itu memang ada hubungannya dengan hobi berpetualang gadis itu. Lalu dia juga satu-satunya orang yang selalu bisa menemukanku dimana pun aku sembunyi. Dengan mendengar detak jantungku, katanya? Aneh sekali
“Sepertinya kamu bingung.”
Lengkung di bibir gadis itu semakin mengembang. Mengembang dan terus mengembang. Mengetahui ada tanda tanya besar di benakku. Dia duduk di sisi lain dari pohon ini sebelum menjawab pertanyaan yang tidak aku lontarkan. Posisinya membelakangiku. Bersandar pada batang pohon besar ini. Jika tidak ada pohon besar ini, kami pati sudah saling bersandar. Ah tapi aku tidak sudi melakukan ituu dengannya.
Dia teman terdekatku. Dia adalah telinga yang mendengar keluhanku. Dia adalah mata yang menangis saat aku terluka. Dia adalah kaki yang menginjakku saat aku jatuh. Dia adalah tang yang selalu bisa aku raih. Dan dia adalah hati yang selalu bisa aku koyak tanpa dendam.
“Jadi...?” aku menunggu jawaban si pemburu.
“Yaaa.. aku hafal sifatmu. Kamu elalu bersembunyi ketika ada masalah. Tak pernah mau menghadapinya. Dan kamu selalu bersembunyi di tempat sunyi. Karena itu aku dapat mendengar detak jantungmu” jawabnya.
“... tapi... kadang aku merasa kamu sembnunyi hanya untuk aku temukan,” lanjutnya dengan nada rendah.
“Apa maksudmu?”
“Saat kamu mendapat masalah, kamu tidak sanggup menghadapinya, lalu kamu sembunyi dan menunggu aku menemukanmu.”
“..... aku tidak menunggumu... bukan kamu.”
“Lalu?” dia balik bertanya.
Aku ragu untuk menjawabnya. Ini bukan kali pertama aku bilang aku menuggu seseorang. Aku tidak pernah membertau dia siapa yang aku tunggu. Kenapa? Tentu saja karena aku pun tidak tau. Aku menanti seseorang tanpa kepastian. Seseorang yang persis seperti gadis di seberang pohon ini hanya saja bukan dia. Bukan dirinya. Dia terlalu semu untukku. Terlalu sempurna hingga aku buta terhadap kekurangannya. Terlalu indah untuk aku miliki. Terlalu rapuh untuk aku cintai. Cinta? Ya, aku rasa ni cinta. Tapi bukan untuknya. Bukan dia. Bukan untuk gadis itu.
“Kenapa? Masih belum ingin memberi tau aku?” Dia menegaskan pertanyaannya.
Aku tidak menjawab. Benakku masih berputar, mencari jawaban tentang siapa yang aku tunggu. Masih, belum dapat aku temuka jawabannya. Di ruang pikiranku kini terserak berbagai nama. Orang-orang dalam hidupku dengan berbagai kenanganku dengan mereka. Pahit-manis, kelam-indah, semua kenangan ada dalam nama-nama itu. Namun tak satu pun yang bersinar. Tak ada cinta di sana. Tidak ada nama yang menjadi jawaban penantianku. Atau sekedar untuk menjawab pertanyaan si pemburu.
Kalau hanya sekedar ingin menjawab pertanyaannya, bisa saja aku berbohong. Cukup aku sebutkan satu nama. Tapi ini menyangkut cinta. Aku tidak ingin berbohong. Nama itu harus aku sebutkan dari hati, bukan hanya di bibir. Lagi pula bila aku bohong dia akan tau lewat detak jantungku, kan?
“hmm.. sepertinya kamu belum mau menjawab ya.. sudahlah.. aku tidak peduli. Kamu selalu begitu. Ini skenario yang membosankan. Kamu sudah sering melakukannya dan tak pernah memberi aku jawaban” tukas Gadis itu.
“Aku hanya ingin memberi tau kamu sesuatu” tambahnya.
“Jika kamu bertemu dengan seseorang yang kamu tunggu, aku yakin... dia akan meminta kamu untuk membunuhku.” Dia mengakhiri kalimatnya.
Ini pertama kalinya dia bilang begitu. Nada bicara datar dan terkesan santai tapi aku tau dia tidak bercanda.
“Apa kamu bilang?”
“Ya, aku yakin dia akan memintamu untuk membunuh aku. Lalu kamu akan melakukannya. Bahkan tanpa dia suruh pun kamu akan membunuh aku.”
Dingin. Kata-katanya santai namun menusuk. Dia mengeucapkan kata “Bunuh” seolah itu hal biasa baginya. Layaknya hal itu adalah lelucon. Lelucon yang sama sekali tidak lucu.
“... maksudmu apa?”
“......... maksud aku orang yang kamu tunggu itu akan menggantikan aku. Entah dia lebih baik atau tidak, yang jelas dia akan mengajari kamu cinta. Kamu akan rasakan senang dan sedih bersamanya. Kamu tidak akan menyisakan ruang untukku. Kamu tidak akan lagi butuh aku.”
Aku tertegun dibuatnya
“... Dia yang akan menemukanmu saat kamu sembunyi. Dia yang akan menjadi telingamu nanti. Dia akan menopang bahagiamu di atas sedihmu. Dia tidak akan membiarkanmu jatuh. Dia tidak akan membiarkanmu berteman dengan kesepian... dia tidak akan membiarkan kamu berteman denganku...” Tambahnya.
Gadis itu meringkuk dibelakangku. Senyum membosankan itu hilang sudah. Tergantikan sendu yang hanya bisa aku rasakan tanpa bisa aku lihat. Gemuruh duka sang pemburu berhasil dia tancapkan dihatiku. Menyebalkan!
Dia menemukanku saat aku bersembunyi darinya. Dia mengejarku saat aku lari darinya. Dia melindungiku saat aku menusuknya dari belakang. Dan dia mencintaiku saat aku benar-benar membencinya.


5 komentar:

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented