Senin, 29 Juli 2013

Lonely Winter: Priceless Dream

Cukup lelah aku dan Cleva berkeliling museum. Kami sudah menjelajah semua ruangan. Termasuk replika gua berisi manusia purba. Cleva sepertinya sangat senang di sana. Dia cukup antusias menpelajari sejarah manusia kuno itu. Berbeda denganku yang hanya melihat-lihat sepintas koleksi museum Rajawali.
Sekitar jam 2 siang Cleva dan aku memutuskan untuk makan siang di salah satu restauran cepat saji di dekat museum. Restauran ini cukup ramai. Rata-rata pengunjungnya adalah remaja seperti kami. Jika aku perhatikan sebagian besar pengunjung restauran ini berpasangan. Termasuk aku dan Cleva. Tunggu, aku dan Cleva bukan pasangan. Kami hanya teman. Ya, teman.

Setelah makan siang, kami tidak langsung beranjak pergi. Kami masih duduk di sini. Tidak banyak yang kami bicarakan.
Di kursiku, aku tertunduk. Menatap layar kotak di genggamanku. Tanpa melakukan apa pun. Aku melakukan itu untuk alibi agar tidak perlu mengajak perempuan di depanku berbicara. Bukankah memang ini yang dilakukan orang-orang? Setidaknya itu yang aku tau. Aku sudah sering melihat mereka yang lebih sibuk dengan gadgetnya saat bersama keluarga, teman, atau pasangan. Begitu pula di tempat ini. Sebagian pengunjung seperti itu. Termasuk aku.

Sesekali aku mencuri pandang kepada Cleva. Sesuatu membuatku risih. Dia menatapku. Cleva tidak memainkan gadgetnya. Dia hanya menatapku begitu dalam. Mungkin mencari tau apa yang aku lakukan dengan smartphone milikku. Saat aku alihkan pandangan lalu kembali melihatnya dia masih memandangku. Tatapannya membuat jantungku berdegup lebih cepat. Sial! Lagi-lagi aku dibuat salah tingkah olehnya. Meski aku coba sembunyikan, sepertinya dia tau.

"Lo kenapa, Rig?" Cleva tertawa kecil melihat gelagatku. 
"Emm.. Nggak apa-apa. Lo ngapain ngeliatin gue terus?"
"Emang gak boleh?" 
"Bukan gitu. Guenya jadi gak enak, Clev. Risih,"
"oh hahaha. Maaf deh. Gue kan cuma ngeliatin,"
"iya, tapi jangan ngeliatin terus,"
"iya iya hahaha. Eh Rig, ceritain mimpi lo lagi dong," pinta Cleva. 
"Mimpi apa?" 
"Mimpi sebelum ketemu gue dulu,"

mimpi itu.. sebenarnya sudah lama aku tidak mengungkitnya. Aku sudah hampir lupa kronologi tak nyata dari alam bawah sadarku itu.

"Gue udah lupa, Clev,"
"Itu loh, yang lo bilang ngeliat perempuan di dalam kereta. Dia pake baju putih kayak gue. Terus lo mau nyapa tapi nggak berani. Abis itu kereta yang lo naikin goyang dan lo nabrak perempuan itu. Lalu dia ngeliat elo pas elo mau minta maaf. Dan elo malah terpesona sampai akhirnya lo bangun,"  jelas Cleva.

Cleva menceritakan mimpiku. Aku tidak habis pikir dia masih mengingatnya. Aku sendiri tidak mengingatnya sampai Cleva bercerita kembali barusan.

"Kenapa lo inget banget, Clev?"
"Iyalah. Itu kan pertemuan di dalam mimpi. Walau pun gue gak mimpiin elo sih,"
"Tapi itu 'kan cuma mimpi, bukan kenyataan,"
"Iya, tapi lo ceritain itu ke gue. Walau pun gak nyata... Lo tau, Rig, kadang hal kecil bagi orang lain bisa sangat berarti buat kita," ekspresi Cleva sedikit berubah. 
Meski tipis, aku rasa dia jadi lebih serius.

Begitu pula denganku. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku ragu.

"Jadi... menurut lo... mimpi gue itu berarti?"
"Iya, berarti buat gue," Cleva menjawab dengan mantap.

Mendengar jawaban itu membuatku gelisah. Ada perasaan berkecamuk di hati. Satu hal yang terpikirkan olehku saat ini adalah apa Cleva menyukai aku atau akulah yang mulai menyukainya? Tidak, mana mungkin begitu. Aku tidak boleh menyukainya. Tidak boleh. Kenapa tidak? Entahlah.

"Eh, Rig, jalan lagi yuk?"
"Emm.. ayo deh,"

Dengan perasaan yang masih bergejolak, aku kembali berjalan di samping Cleva.
***
Menjelang petang, aku dan Cleva sudah berada di kereta. Tidak ada yang kami bicarakan. Entah apa yang dia pikirkan. Dia hanya menatap pemandangan melalui kaca gerbong dari tempatnya berdiri. Sama sepertiku.

"Makasih ya, Rig, udah ngajak gue jalan-jalan hari ini," ucap Cleva begitu kereta mendekati stasiun tempatnya akan turun.
"Iya, makasih juga udah nemenin gue ke museum," 
"Kapan-kapan jalan-jalan lagi ya? Hahaha,"
"Tapi setelah ini kita sibuk ujian sekolah," 
"Hmm.. kalau gitu, setelah ujian kita ketemu lagi,"
"Iya, Clev,"

pintu kereta yang kami tumpangi terbuka. Beberapa penumpang yang searah dengan Cleva keluar dari gerbong.

"Yaudah gue duluan, Rig," Cleva melangkah keluar. 
"Hati-hati, Clev,"

Pintu gerbong kereta kembali menutup. Menyisakan aku dan penumpang lain ke tujuan berikutnya.
'Iya, berarti buat gue' kata-kata Cleva masih berputar di pikiranku. Masih teringat jelas olehku saat dia menatapku di restaurant tadi. Hanya menatap tingkahku yang berusaha bersikap skeptis di hadapannya. Tatapan yang menghadirkan perasaan senang dan gelisah pada saat yang sama. Perasaan apa ini? Mungkinkah aku mulai... tidak. Aku tidak jatuh cinta pada gadis itu. Tidak boleh. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Cleva. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented