Selasa, 09 Juli 2013

Lonely Winter: Plan


Libur akhir tahun sudah dimulai sejak dua hari yang lalu. Tak banyak yang aku lakukan. Keseharianku aku jalani dengan berleha-leha di rumah. Bersantai layaknya pemalas yang sangat malas. 
Seharusnya liburan ini aku isi bersama teman-teman. Tapi, mau bagaimana lagi? Mereka pergi bersama keluarga mereka. Sedangkan aku? Keluargaku terlalu sibuk. Tak ada waktu bagi mereka untuk berlibur. Aku rasa itulah tuntutan pekerjaan.

Sebenarnya aku ingin pergi. Berkunjung ke rumah sanak saudara pasti menyenangkan. Tapi, rumah mereka terlalu jauh dari tempatku di ibu kota. Aku tidak akan diizinkan pergi sendiri. Ini menyebalkan! Kalau begini liburanku akan sia-sia. Apa yang harus aku lakukan?

aku tak menjawab pertanyaan di pikiranku. Kubiarkan saja berlalu seraya jemariku menekan tombol on pada remote tv. Acara berita. Keadaan lalu lintas di jalur mudik, kecelakaan, dan ramainya penumpang yang tidak kebagian tiket untuk pulang kampung. Ini sudah biasa. Terlalu biasa.
Selanjutnya channel tv itu menyajikan pantauan lalu lintas di ibu kota. Jalanan sepi lenggang. Orang-orang pasti sudah pergi ke kampung halamannya. Aku juga ingin. Tapi, lagi-lagi tidak bisa. Kenapa orang tuaku harus bekerja saat orang-orang berlibur? Menyebalkan.

Kini pantauan jalur kereta-lah yang disajikan stasiun tv yang aku tonton. Kulihat stasiun-stasiun kereta masih ramai pemudik yang ingin keluar kota. Sebaliknya, jalur lokal, dalam kota, justru sepi. Pengguna jasa kereta api dalam kota menurun. 
Sontak, aku mendapat ide. 
Mungkin inilah kesempatanku untuk mengisi liburan. Jika aku tidak boleh keluar kota, aku akan menjelajah ibu kota. Ya, pasti cukup menyenangkan. Malam ini aku akan meminta izin kepada orang tuaku.

***

"Kamu mau jalan-jalan ke mana?" Tanya ayah.
"Keliling kota aja, yah. Sekalian ngisi liburan,"
"Kamu pergi sama siapa, Rig?" Ibu menyahut sambil menyiapkan teh untuk ayah. jadilah keluargaku lengkap berkumpul di ruang makan.
"Sama teman, bu," aku berbohong. Kenyataannya aku berencana untuk pergi seorang diri. jika aku bicara terus terang, mereka tidak akan mengizinkanku.


"Naik apa?" 
"Rencananya sih naik kereta, yah,"
"Sekarang kan kereta masih ramai pemudik, Rig," ucap Ayah sambil membaca koran tadi pagi. 
"Tapi yang jurusan dalam kota nggak kok, yah. Tadi aku liat beritanya di tv,"
"Kamu mau pergi kapan?" 
"Hari sabtu nanti,"
"Kamu gak nunggu ayah-ibu libur aja?" Tanya ibu.
"Ayah-ibu mah hampir gak ada liburnya. Aku sama teman-teman aja,"
"Hati-hati loh, Rig, musim mudik gini banyak copet,"
"jadi aku boleh pergi, yah?" Aku mulai bersemangat.
"Iya, boleh. Tapi hati-hati, Rig,"
"Iya, yah. Nanti aku hati-hati kok,"

Akhirnya aku mendapat izin dari orang tuaku.
***
Aku kembali ke kamarku. Tanpa basa-basi, kuhantamkan tubuhku ke kasur bermotif tim sepak bola kesayanganku. Senang rasanya mendapat izin dari orang tua dengan mudah. Walau harus sedikit berbohong.

Bohong ya... aku merasa bersalah. seharusnya aku tidak bohong. 
Aku sudah berulang kali diberi tau jika pergi tanpa izin atau dengan  menbohongi orang tua maka akan bernasib buruk. Ini membuatku bimbang.

Haruskah aku pergi? Atau aku harus percaya dengan nasib buruk dari larangan itu?

Jika aku pergi, mungkin aku akan kualat. mungkin aku akan dicopet, mungkin akan kehilangan sesuatu, atau mungkin... akan kecelakaan? Aku bergidik ngeri. 
Bagaimana kalau itu terjadi? Bisa gawat. Tapi... itu cuma kemungkinan. walau pun banyak kisah tentang orang yang kualat, aku rasa tidak separah itu. 
Kemungkinan terburuknya tidak sampai begitu.

tapi jika aku tidak pergi... Kapan lagi aku bisa menjelajah ibu kota dalam keadaan sepi? Berpetualang sendirian? Aku akan pergi. Ya, hari sabtu nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented