Rabu, 07 Agustus 2013

Lonely Winter: Tentang Dia

Minggu demi minggu berlalu. Kini aku sudah duduk di bangku senior SMA. Berarti aku sudah harus mulai  mempersiapkan diri untuk masa depan. Mengurangi waktu bermain dan mulai mengikuti kursus. Inilah yang harus dilakukan seorang murid kelas 3 SMA. Setidaknya itu yang dikatakan guru dan orang tuaku.

Beberapa barang masa kecilku juga mulai tergantikan buku kumpulan rumus yang memenuhi lemari kamarku. Meski tertata rapi, bagiku tetap menyesakkan. Entah kapan aku akan mulai membacanya.




Waktu terasa lambat.  Gadis ceria yang biasa menghubungiku di dunia maya kini perlahan menghilang. Kami masih berkomunikasi hanya saja tidak sesering dulu. Wajar, aku dan Cleva sama-sama sudah ada di tahun terakhir SMA. Aku yakin dia sibuk. Mungkin memang begitu. Mungkin juga karena pertemuan terakhir kami. Aku rasa dia benar-benar menghargai keputusanku untuk menjauh darinya. Tentu saja alasannya pacarku. Ya, pacar khayalanku yang bodoh.

Sejenak aku berpikir. Tujuanku untuk menjauh darinya sudah tercapai. Dia tidak lagi menggangguku dengan cerita kesehariannya yang mengharuskanku berpura-pura bosan. Aku tidak perlu menyimak ocehannya tentang ilmu pengetahuan yang ia baca. Dan aku tidak perlu lagi menemani perempuan itu pergi. Ya, tidak perlu lagi. Dengan begini kami akan semakin jauh. Itu yang aku pikirkan. Tapi apa benar ini yang aku inginkan? Menjauh dari Cleva dengan alasan yang aku sendiri tidak mengerti. Hanya karena sebuah janji.

Komputer di sudut kamar yang menjadi media penghubung aku dan Cleva pun sudah jarang aku gunakan. Akun jejaring sosial Cleva yang dulu selalu aku tunggu berubah menjadi deretan huruf yang tak lagi aku hubungi. Aku tidak lagi melihatnya tertawa atau hanya sekedar tersenyum tipis melalui webcam. Tidak lagi membaca pesan-pesannya yang sering kali membuatku salah tingkah.


Sesuatu yang hilang mengundang sepi yang mulai merajai ruang hatiku yang sempit.  Aku sendirian. 
Tidak ada tempat untuk bercerita. Kepada teman-temanku di sekolah? Mereka tidak akan peduli. Keluargaku pun hanya akan menyuruhku belajar. Pacar khayalan? Apa yang bisa dia lakukan? Cuma imajinasi rendahan yang justru membuatku kehilangan Cleva.



Cleva pernah bilang kalau dia suka sendirian. Menikmati waktu seorang diri. Pergi tanpa tujuan, mengamati banyak hal tak penting atau semacamnya. Apa enaknya begitu? Kalau pun itu hobinya, tetap saja tidak akan menyenangkan bila dilakukan sendiri. Tidak bisa membagi apa yang kita pikirkan dengan orang lain atau bahkan hanya sekedar memiliki teman bicara. Rasanya pasti sepi. Apa Cleva benar-benar menikmati hal semacam ini atau sebenarnya dia  kesepian? 
Kenapa dia kesepian? Bagaimana pun dia pasti memiliki teman. Tapi kalau aku pikir lagi Cleva memang agak berbeda dari kebanyakan orang. Dia terlalu aneh untuk ukuran orang yang baru aku kenal. 
Menuduhku pencuri, memaksaku ikut dengannya, hinga membuat janji itu.


Aku coba menerawang jauh. Tidak ada yang salah dengan kelakuan Cleva. Semua tingkah dan kebiasaan bicara terus terangnya  adalah karena dia memang begitu. Itu yang membuat dia mudah akrab denganku. Bukan hanya itu, dengan sikapnya dia bahkan bisa menumbuhkan rasa yang sering aku salah artikan.
Setengah tahun lebih aku mengenalnya. Waktu yang singkat untuk menyimpulkan sifat seseorang. Tapi bagiku cukup untuk tau tentang Cleva. Dia tidak berubah. Dia masih memberi kabar kepadaku. Walau aku hampir tidak pernah membalasnya.

Puisi yang dia kirimkan di malam aku mengatakan sudah punya pasangan pun masih aku simpan. Tersimpan dalam folder khusus di komputerku bersama foto kami di museum. Hanya sedikit tapi cukup untuk kukenang. Di waktu senggang ku baca kembali bait-bait puisi Cleva.  Mencari tau makna di setiap rangkaian kata. Ada cinta juga air mata. 2 hal yang selalu terpikirkan saat ku ingat malam dimana aku memulai kisah cinta palsu. Jika aku adalah Cleva malam itu pasti aku cemburu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented