Rabu, 07 Agustus 2013

Lonely Winter: Frozen Crescent

Kami tiba di Arthapura, salah satu mall terkenal di kota. Tempat yang sama dengan waktu pertama kali aku melakukan perjalanan sia-sia dengan Cleva. Kali ini aku tidak ingin menjadikannya seperti tahun lalu yang hanya berjalan tanpa tujuan bersama perempuan aneh yang menuduhku pencopet.
Perempuan itu kini di sampingku. Berjalan berdampingan dengan mata terbuka lebar mengagumi dekorasi tahun baru di mall. Pernak-pernik natal juga menghiasi beberapa sudut toko. Tak lupa papan dan spanduk bertuliskan potongan akhir tahun tergantung di salah satu toko baju ternama. Walau pun begitu, bagiku tetap saja mahal.
Kami berhenti di restauran yang sama seperti sebelumnya. Aku sengaja memilih tempat ini untuk sedikit bernostalgia. Cleva pun tidak ada masalah dengan itu.

"Lo masih inget tempat ini 'kan, Clev?" kataku setelah kami duduk di tempat yang sama persis dengan tahun lalu.
"Ingetlah. Gue 'kan belum tua. Hahaha. Dulu kita ke sini ngapain ya?"
"Katanya inget, gimana sih?"
"Bercanda kok," dia masih tertawa.


"Tadi lo ngapain di stasiun, Clev?"
"Kayak nggak tau gue aja, Rig. Cuma jalan-jalan. Seperti biasa,"
"Kenapa ke stasiun?"
"Emm.. Gue kangen elo, Rig. Hari ini pertama kalinya kita ketemu setahun yang lalu. Gue pergi ke stasiun buat mengingat pertemuan kita lagi. Gue kira lo ngelupain gue gitu aja," Cleva menundukan wajahnya.


"Maaf, Clev. Gue nggak..."
"Gapapa kok. Gak perlu ngerasa bersalah gitu. Gue seneng bisa ketemu elo lagi," ucapnya memotong permintaan maafku.

"Eh Rig, Selama kita lost contact, gue sering jalan-jalan lagi loh," Cleva mulai bercerita.
Sudah lama sekali aku tidak membaca atau mendengar cerita tak penting dari gadis itu. Aku merindukan saat seperti ini.

"Gue pergi ke museum Pusaka di Lukamaja. Museum itu isinya benda-benda peninggalan kerajaan. Katanya di sana angker tapi buat gue biasa aja. Terus gue ke taman Quartizo, aquarium, dan ke kebun binatang juga. Di sana lumayan seru. Di aquarium sama kebun binatangnya banyak pertunjukan. Pasti lo suka deh,"
"Lo ke sana sama siapa, Clev? Sendirian lagi?"
"Iya. Hahaha,"
"Kenapa lo gak pernah ngajak temen-temen lo sih?"
"Mereka nggak mau. Gapapa sih lagi pula mereka sibuk. Dan gue juga udah biasa sendirian. Jadi nggak masalah. Gue seneng kok,"

Aku memperhatikan rawut wajah gadis ceria ini. Dia memang selalu tampak senang saat menceritakan "kisah perjalanan seorang diri"nya. Namun bagiku ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang Cleva sembunyikan di balik tawanya.
"Clev.. Lo kesepian?" Aku coba mengungkapkan pikiranku.

Sejenak Cleva terlihat terkejut dengan pertanyaan itu.
"Apa? Ng.. nggak kok,"
"Bohong,"
"Beneran deh, Rig. Hahaha,"
"Clev, Selama kita lost contact, gue juga pergi sendirian,"
"Lo juga..?"
"Iya, gue berkunjung ke tempat yang pernah lo ceritain. Ke sumber mata air panas. Sesuai yang lo bilang, di sana tempatnya bagus, sejuk, dan alami. Gue senang ada di sana. Tapi, bagaimana pun, gue gak punya teman untuk berbagi. Gak ada teman untuk bertukar pikiran. Gue sendirian,"

Cleva antusias mendengar ceritaku.

"Bulan lalu gue juga pergi ke museum Rajawali. Gue coba menikmati perjalanan gue sambil baca keterangan dari koleksi,"
"Terus, lo pelajarin spesies apa?"

aku perhatikan dia mencoba mengalihkan pembicaraan ini.

"Itu nggak penting. Gue juga memperhatikan pengunjungnya. Mereka dateng sama keluarga atau teman. Sedangkan gue sendirian. Iri rasanya waktu ngeliat mereka bercanda, tertawa, atau sekedar ngobrol. Mereka punya orang lain untuk berbagi. Sementara gue? Gak ada siapa-siapa. Sendirian di tengah keramaian begitu.. Gue nggak kebayang gimana perasaan lo," 
Aku menatap kedua mata gadis itu dalam. Walau tipis, aku menyadari perubahan pada sorot mata Cleva.  
"Rasanya memang nggak enak kalau dibandingkan sama mereka. Tapi gue udah biasa sendirian, Rig. Jadi gue gak terlalu peduli," aku yakin dia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya saat ini.


"Kenapa lo terbiasa sendirian?"
"Hm.. kenapa ya? Hahaha. Gue juga gak tau," dia berusaha tertawa. Walau terpaksa.


"... lo pernah bilang, di sekolah lo suka sendirian sampai teman-teman lo menganggap lo aneh,"
"..."
"Menurut gue.. itu karena gak ada yang memahami diri lo, Clev. Karena itu lo sendirian," kata-kataku barusan menghapus kecerian dari gadis pemurah senyum itu.

"Waw... ini pertama kalinya ada yang bilang begitu ke gue," dia terlihat ragu. Dia tidak lagi memandangku. Hanya tertunduk menatap kedua tangannya yang dia mainkan di atas meja.
"Ya, sejak SMP gue mulai jadi begini," Cleva mulai cerita.
"Gue meluangkan banyak waktu buat diri sendiri. Lebih sering merenung. Gue suka memperhatikan orang-orang. Melihat reaksi mereka saat menghadapi masalah. Gue coba memposisikan diri sebagai mereka supaya bisa paham perasaan mereka. Tapi waktu gue udah merasakan hal yang sama dengan mereka, reaksi gue terhadap masalah yang dihadapi itu beda. Gue melihat masalah dari sudut pandang yang agak beda dari mereka. Dan waktu gue coba mengungkapkan yang gue pikirkan, saat itu mereka bilang gue aneh. Bukan salah mereka sih. Tapi mungkin karena itu perlahan mereka menjauh. Di SMA... gue tetap begitu. Tapi gue nggak mengungkapkan pikiran gue lagi. Gue nggak mau teman-teman gue menjauh,"
"Lalu... apa teman-teman lo menjauh?"

"Nggak. Kenyataanya.. justru gue yang menjauh. Gue terlalu terbiasa sendiri..."
"Kenapa lo biasain, Clev?"
"Seperti yang gue bilang, awalnya enak. Rasanya tenang... Sampai akhirnya lo mulai merasa sepi. Lo jadi berbeda dari orang lain dan gak ada seseorang yang paham. Akhirnya yang ada cuma kesepian,"
Cleva menyunggingkan senyumnya. Lengkung di bibirnya sangat kontras dengan tatapan matanya yang mulai berkaca-kaca.


"Lo tau, Rig? Gue mungkin udah biasa sendirian tapi gue nggak kebal sama rasa sepi. Itu sakit."
dia masih menatapku dengan tatapan yang mengundang rasa iba di hati.

"Tapi akhirnya gue ketemu elo setahun yang lalu. Lo pergi ke tempat dimana gue sendirian. Gue senang bisa ketemu elo, Rig. Gue bisa cerita banyak hal. Mungkin lo agak kesal dan bosan dengerin gue terus. Buat gue itu menyenangkan. Setidaknya gue punya teman untuk berbagi.

Tapi lama-kelamaan elo pun menjauh. Sejak lo punya pacar..
Wajar sih, gue ngerti gue harus menjauh. Gue gak boleh merusak hubungan lo,"

Cleva menyinggung sesuatu yang sangat aku sesali. Sandiwara yang menjauhkan aku darinya. Mungkin inilah saatnya. Aku ingin mengungkapkan kebenaranku dan mengakhiri drama ini.
"Cleva.. soal itu.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented