Rabu, 07 Agustus 2013

Lonely Winter: Tears 2

Gelap. Pandanganku hitam pekat. Tubuhku terbujur kaku di pinggir jalan. Diam mati rasa. Aku berada di ambang batas kesadaran. Apa aku akan hidup kembali? Atau aku akan tertidur untuk selamanya?
Aku dengar langkah kaki orang-orang. Samar-samar aku dapat melihat mereka mendekat. Mereka memanggilku di sela-sela dengung yang masih mengganggu telinga.
"Kamu gapapa?" Tanya salah seorang yang mendatangiku.
Aku tidak menjawabnya. Dadaku terlalu sesak untuk bicara saat ini.

Aku lihat keadaan sekitar. Orang-orang berkerumun di depan mobil sedan yang menghantamku. Apa mereka meminta tanggung jawab dari sang pengemudi? Tidak. Kulihat ada jasad yang terbaring di depan sedan itu. Jasad seorang perempuan yang sangat aku kenal.
Cleva.

Tubuh Cleva tergeletak bersimba darah di atas aspal. Matanya terpejam seolah tertidur.
"Cle...va? Lo kenapa, Clev? Cleva! Bangun!!" serak aku berteriak. Mengguncang tubuh kaku gadis itu.
"Dia tadi ngedorong kamu sebelum mobil sedan itu menabrak. Dia lari buat nyelamatin kamu," seorang saksi di sebelahku menjelaskan.
"Dia...?" aku tak percaya dengan apa yang baru kudengar. Seluruh tubuhku menolak pernyataan sang saksi.

"Ambulance.. tolong panggil ambulance!" Tak ingin kehilangan harapan, aku coba meminta pertolongan. Meski aku tau sudah terlambat. Cleva tidak lagi menghembuskan napas. 
Tidak ada lagi detak jantung darinya.

"Cleva..." air mata mulai mengalir dari sudut mataku.
Tak pernah aku sangka Cleva akan pergi secepat ini. Hanya demi menolongku dari kecelakaan yang seharusnya menimpaku. Ya, aku.. Aku yang seharusnya tergeletak di sana, di depan mobil itu. Aku yang seharusnya bersimba darah di sana. Bukan Cleva, bukan seseorang yang aku sayangi. 
Aku tau sejak dia menolakku cepat atau lambat kami akan menjauh. Tapi tidak secepat ini. Tidak sejauh ini. Aku kira kami akan terpisah perlahan oleh waktu. Bukan kematian.
Aku berusaha menahan air mataku. Aku tak ingin menangis di hadapannya. Namun tentu saja semua sia-sia. Mana mungkin aku menahan tangis di saat seperti ini? Di saat seseorang yang tak pernah kusangka akan sangat berharga kini tergeletak tak bernyawa.
Air mataku terus mengalir. Seperti puisi yang pernah Cleva berikan. Hanya saja kini bait-baitnya tak lagi sama.
Tetesan pertama air mataku, menandakan ada yang hilang dari dunia ini.
Tetesan kedua yang sampai di pipiku, adalah lirih namamu yang tak pernah ingin aku jeritkan.
Tetesan ketiga yang bebas terjatuh adalah semua sandiwara bodoh yang membohongi cinta.

Tetesan keempat yang tiba di bibirku.
Menjadi pesan rindu yang tak mungkin lagi kau balas.


Tetesan kelima dan seterusnya.
Adalah kenangan manis yang tidak pernah terjadi.


Tetesan terakhir dari air mataku.
Aku berdo'a agar kau tenang di sana.


Dan jejak air mataku yang mengering, 
Adalah dera lonceng terakhir yang mengantar kepergianmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented