Rabu, 07 Agustus 2013

Lonely Winter: End of Dream

Aku tiba di stasiun kota. Stasiun yang sangat aku kenali dengan sejarah pertemuanku dengan seorang gadis dari mimpiku.

Entah kenapa aku kembali ke tempat ini. Sendiri tanpa tempat tujuan untuk melanjutkan. Untuk bernostalgia? Tidak. Aku rasa aku hanya ingin ada di sini. Ya, seorang diri di tempat ini.
Tapi mana mungkin? Stasiun kota selalu saja ramai. Orang-orang berlalu-lalang melewatiku yang hanya berdiri termenung. Tak ada yang bertanya tentang apa yang aku pikirkan. Tak ada yang peduli. Aku sendiri ragu mampu menjawabnya seandainya benar ada yang bertanya. Kenapa? Aku tidak tau. Pikiranku terlalu penuh sehingga terasa kosong.

Tanpa berpijak, aku menengadahkan wajahku. Menatap langit-langit stasiun yang ditopang besi-besi tua berkarat. Berbagai papan iklan maupun penunjuk arah tergantung di sana. Aku masih bergeming menatap kosong papan-papan itu hingga kurasakan desakkan orang-orang yang aku tidak tau dari mana datangnya.   Orang-orang itu berkerumun saling menerobos masuk ke peron stasiun. Tentu saja aku yang terjebak di tengah mereka ikut terbawa. Aku tidak bisa memisahkan diri dari kerumunan sesak ini. Terlalu ramai. Dengan dorongan berkali-kali mereka memaksaku mengikuti arus keramaian ini hingga tiba di tempat yang lebih luas. Peron stasiun.
Kerumunan penumpang tadi kini telah berhamburan ke tujuannya masing-masing. Meninggalkanku sendiri di tempat pemberhentian kereta.
Untuk apa aku di sini? Aku tidak sedang menunggu kereta. Tidak ada tempat yang ingin aku tuju. Ditambah lagi aku bahkan tidak memiliki karcis untuk kembali dan melewati pemeriksaan di stasiun.
Aku urungkan niatku untuk kembali. Lebih baik aku lanjutkan aktivitasku di sini. Berdiri, dan menatap sekeliling.
Ku telusuri peron stasiun yang kian sepi ditinggal para penumpang kereta hingga ke ujungnya. Semakin jauh dari gedung utama suasana semakin sepi. Hanya deretan bangku kosong dan seseorang yang berdiri di ujung peron. 
Secara perlahan tapi pasti aku mendekat. Ku tajamkan penglihatan dengan mengernyitkan dahi. Coba menilisik seseorang yang ada di ujung peron. Semakin dekat semakin jelas. Kini aku tau yang ada di sana adalah seorang perempuan. Seumuran denganku. Dia berdiri membelakangiku. Meski begitu aku tau siapa dirinya hanya dari gaya berpakaiannya yang sudah sangat aku kenal.
"Clev?" Sapaku pelan.
Gadis itu tetap diam tak berpaling. Tak bereaksi sama sekali.
"Cleva?" Panggilan kedua.
Gadis itu berhasil aku buat menoleh kali ini. Sepasang matanya menatapku teduh dengan lengkung halus di bibirnya. Itulah senyuman yang pernah membuatku merasa tenang dan gelisah karena bersalah di saat yang bersamaan. Tapi kali ini hatiku terlalu sesak oleh kerinduan hingga tak ada ruang untuk perasaan lain. Hatiku terlalu dangkal untuk membendung rasa rindu ini hingga ia meluap membasahi pelupuk mata.
Aku berjalan mendekat. Ingin rasanya aku memeluk Cleva untuk membagi rindu yang kurasakan. Untuk melihat senyumnya lebih dekat. Mendengarnya menyapaku sekali lagi. Tapi tanah di antara kedua kaki ku seakan meluas. Aku tak kunjung mendekat.
Semakin aku percepat langkah, semakin jauh jarak antara kami. Semakin menyeruak pula jeritan hati yang merindu orang di depanku.
"Cleva!" Aku meneriakkan namanya. Berharap ia akan mendekat ke arahku. Namun gadis itu justru berpaling. Kembali menatap jalur kereta tak berujung.
"Clev..!" Teriakanku terdengar putus asa seiring tangisan yang makin menjadi. Cleva tidak juga menatapku.
Tanpa lelah aku masih berlari. Mencoba menjangkaunya meski aku tau sudah tak mungkin. Hingga sekelumit bayangan hitam menutupi pandanganku dari gadis itu yang kian menjauh.
Aku terbangun dari tidurku. Perlahan mataku mengerjap. Mengantarku pada pemandangan yang sangat kukenal. Ya, ini di kamarku. Tidurku begitu gelisah semalam. Mataku basah oleh airmata. Kenapa aku menangis? 
Aku tidak langsung beranjak dari tempatku berbaring. Seperti biasa, aku berusaha mengingat mimpi. Mimpi... apa yang aku mimpikan semalam? Kenapa rasanya begitu sesak?

Pikiranku melayang jauh. Berusaha merenggut serpihan cerita tak nyata dari alam bawah sadarku. 
Apa yang aku mimpikan? Kenapa aku merasa begitu sedih? Aku masih berusaha mengingat.

Terlintas di benakku, aku berdiri di tempat penantian yang sunyi, dikelilingi oleh bangku-bangku kosong. Tempat penantian.. Terminal? Bandara? Stasiun? Tunggu, aku ada di stasiun. Ya, di peron stasiun. Lalu apa? Apa yang membuatku menangis?
Sekitar 15 menit sudah aku berusaha menggeledah alam bawah sadar. Aku tak ingat apa pun lagi. Hanya peron stasiun yang sepi dan sesuatu yang aku rindukan di sana...
-The End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented