Senin, 13 Januari 2014

Rahasia Hitam 3

"Ayo, Res, cepetan!" Dante berbisik padaku.
Matanya tak henti-hentinya memperhatikan gerak-gerik seseorang. Mengikutinya selangkah demi selangkah sambil sesekali bersembunyi di balik pepohonan warga.

Suasana saat itu sepi. Hanya ada aku, Dante, dan seseorang yang menjadi objek tugas Dante yang sepertinya tidak menyadari keberadaan kami.

Pagi tadi Dante mengajakku untuk mengikuti kak Agni untuk mengetahui sikapnya di luar jam kuliah. Rencana itu dia lakukan setelah puas membuntuti kak Agni berhari-hari di kampus. Dari hasil penyidikannya, Dante mencatat beberapa sikap kak Agni: Sombong, suka menghina, mudah marah, jahil, mudah menyerah dan entah apa lagi keburukannya. Namun aku juga mendapati dalam catatan itu: mudah bersosialisasi, tidak pelit, dan setia kawan. Aku tidak tau itu benar atau salah tapi itulah yang aku baca.

"Res, dia masuk ke gang kecil tuh! Ayo!"

Aku dan Dante terus mengikuti langkah kak Agni. Dari mulut gang kecil itu aku bisa melihat 4 orang yang mungkin adalah temannya. Mereka tampak menyeramkan, bertatto dan berbaju rombeng layaknya preman. Tunggu, aku rasa mereka memang preman. Aku tidak pernah melihat mereka di kampus. Asing. Ya, mereka asing buatku.

"Kak Agni mau apa di sini?"  Bisik Dante.

Dia tercengang melihat pemandangan di dalam gang sempit itu. Botol-botol bir tergeletak di sembarang tempat. Tak lupa tumpukan kartu serta lembaran uang puluhan ribu siap menjadi permainan mereka.

"Dan, kayaknya kita harus pergi sekarang," aku menarik tangan Dante.

"Nanti dulu! Aku masih mau nyelidikin kak Agni," bisiknya dengan nada tinggi.

"Ayo, Dan! Ini udah gak bener! Kita harus pergi sekarang!"

"Eh! Ngapain kalian di sini!?" Suara itu terdengar jelas di belakang kami. Mengejutkan aku dan Dante serta para pemain kartu di ujung gang kecil ini.

Aku dan Dante tidak menjawab. Kami masih bungkam. Jantungku berdegup lebih cepat seiring langkah orang-orang bermuka barbar itu mendekat, termasuk kak Agni.

"Ares? Dante? Ngapain kalian di sini?!" Pertanyaan itu terulang, kali ini oleh suara yang lebih familiar.

Tetap saja kami tidak menjawab. Kami terlalu takut dengan 6 orang yang mengepung kami.

"Lo kenal mereka, ni?"
"Mereka adik kelas gue di kampus"

"Kak! Ngapain kakak di sini?!" Dante memberanikan diri.
"Ngapain? Suka-suka gue dong mau ngapain di sini. Ada urusan apa lo ke sini?"

"Oh kalian ngebuntutin gue ya? Mau nyari tau tentang gue? Berani juga si cupu sama anak mami ini. Hahaha."  Ucap kak Agni setelah mengambil buku catatan Dante.

"Sebagai ucapan selamat karena udah berani ke sini, rasain nih!" Satu pukulan mendarat di perut Dante. Ia langsung tersungkur lemas. Aku pun tak luput dari sasaran kak Agni. Pukulannya mengenai wajahku.

"Guys, ayo dong! Sambut tamu kita yang berani ini!" Kak Agni mengajak 5 temannya untuk menjadikan kami bulan-bulanan mereka.

Tiga orang di antara mereka memukulku tanpa ampun. Tendangan dan pukulan aku tahan sekuat tenaga. Ingin rasanya aku balas. Tapi aku tidak berdaya. Aku lemah. Rasa sakit terlanjur merasuk ke sarafku memberi rangsangan yang melumpuhkan  seluruh tubuhku.

Nasib Dante tak jauh berbeda dariku. Dia juga menahan rasa sakit dari penindasan fisik ini. Kulihat dia menangis. Mungkin hanya itu luapan emosi yang bisa dia keluarkan sekarang.

Sekitar 5 menit pukulan dan tendangan mereka menghantam kami. Kak Agni mendekati aku yang meringkuk di aspal.

"Gimana  anak mami yang satu ini? Mami lo mana? Jauh ya tinggalnya? Kalau papi lo? Tunggu, emang lo punya papi? Papi elo aja gak jelas. Papi elo pasti cuma om-om yang rela ngebayar mami lo buat ngelahirin elo tanpa nikah. Iya kan? Dasar anak haram!" Ucap kak Agni dengan seringainya yang sangat kupandang rendah.

Deg! Jantungku berdegup lebih cepat. Jauh lebih cepat. Ini seperti saat ospek dulu tapi kali ini terasa lebih nyata. Kata itu terlanjur diucapkan.

Hinaan kak Agni membakar emosiku lebih cepat daripada rasa sakit di tubuhku yang pudar perlahan. Merubahnya menjadi tenaga super untuk aku bangkit dari aspal tempat aku berbaring. Namun aneh. Aku masih merasa lumpuh. Seolah aku kehilangan kendali atas tubuhku. Bahkan kesadaranku mulai tergantikan oleh sesuatu yang terus bergumam di kepalaku,

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented