Sabtu, 04 Januari 2014

Rahasia Hitam 1

"Aaa... AAAAHHH!!" suaranya menggema dalam ruangan kosong yang pengap ini. Aku masih bisa mendengarnya walau rasanya sebentar lagi aku akan tuli. Masih bisa aku rasakan pisau menancap di dada kiriku. Sakit? Tidak. Aku mati rasa. Aku yakin sebentar lagi aku pun akan mati raga, juga jiwa. Aku kehilangan nyawa.

"AREEESSSS!!!" Dia mengguncang tubuhku yang bersimba darah.
Matanya terbuka lebar menatapku seolah tak percaya dengan apa yang ditangkap indra penglihatannya.

Kunikmati detik-detik terakhirku menatap wajah panik Dante, sahabatku. Orang yang paling mengenaliku, bahkan melebihi ibuku.

Aku tersenyum melihat darahku yang berlumuran di tangannya.  Sebilah pisau yang tertanam di jantungku juga adalah miliknya. Ya, dia yang membunuhku.

----

"SIAPA KALIAAAN?!" Teriakan  panitia ospek membuat bisu para mahasiswa baru.
Senyap, kami diam mematung.

"JAWAB!! Punya mulut, nggak?!" kali ini suara cempreng keluar dari mulut mbak Thita. Matanya yang sipit dipaksakan melotot demi  menghardik serdadu pelajar berpakaian putih hitam lengkap dengan atribut ospek yang menjadikan kami bak orang gila.

"Aku tanya sekali lagi. SIAPA KALIAAAN?!" teriakan itu terdengar lebih keras kali ini seperti gemuruh petir di tengah teriknya matahari.

"Mahasiswa Psikologi Universitas Prima Tamaya!" sayup-sayup terdengar sahutan tunggal dari barisanku.
Dante, ketua kelompokku, menjawab.

"Cuma satu orang yang menjawab? SIAPA KALIAN?!" Ini ketiga kalinya aku dengar  pertanyaan yang sama. Membosankan.

"MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS PRIMA TAMAYA!!!" kali ini lebih banyak suara yang menyambut teriakan panitia ospek bermuka sangar itu.

kami masih berdiri dijemur di bawah terik matahari siang ini. Sudah hampir dari 1 jam yang lalu kami mendapat bentakkan, umpatan, dan sesekali tamparan dari panitia ospek. Menyebalkan memang, tapi inilah yang harus kami jalani. Paling tidak untuk 4 bulan kedepan.

"WOY! Ngapain bengong?!" Satu tamparan keras dari kak Agni melayang ke arahku. Aku tidak membalasnya. Aku tahan rasa perih di pipi kananku dan berusaha tetap meredam emosi. Tetap diam di tempat dengan tatapan kosong  terkunci pada tengkuk leher Dante yang berdiri tepat di depanku.

"Oh jadi Ares bisa masuk universitas juga ya. Si 'anak mami' yang satu ini udah siap lepas dari maminya ya? HAHAHA," tawa kak Agni terdengar menjijikan. Aku tau dia berusaha memancing emosiku.

'Sabar.. tenang aja, Res, jangan terbawa emosi. Jangan termakan omongan kak Agni' batinku terus mengingatkanku. Aku harus tetap tenang dalam kondisi ini.

Belum puas menghinaku dengan sebutan anak mami, kak Agni kini mendekatkan bibirnya ke telingaku.
"Dengar ya, Res, aku tau kalau kamu itu anak ha.."

"Kak, cukup!" Dante memotong bisikkan Kak Agni yang merupakan kakak kelas kami di SMA yang beda 2 tahun di atas kami.

"Jangan ganggu Ares, kak!" Ucap Dante tegas seolah tau apa yang mau kak Agni ucapkan. Aku sendiri sebenarnya tau lanjutan dari kalimat kak Agni tadi. Kalau saja Dante tidak memotong bisikannya, mungkin saat ini emosiku sudah meledak.

"Kalau aku gangguin dia, kamu mau apa?"

Dante menatapnya tajam, walau aku tau sebenarnya dia takut pada kakak kelasku yang terkenal preman di SMA. Sialnya kami harus satu kampus dengannya, ditambah lagi dia adalah panitia ospek yang memiliki kuasa untuk menganiaya mahasiswa baru seperti kami.

Dante tidak menjawab. Hanya emosinya yang menyiratkan geram di raut wajahnya. Berbeda dengan kak Agni yang hanya dengan menyeringai mampu menciutkan nyali Dante.

"Jadi gimana? Kalau aku gangguin dia, kamu mau apa, hah?" Orang barbar itu mendongakkan dagunya. Sikapnya benar-benar menantang Dante yang terkesan alim dan cupu waktu SMA.

"Kamu ngapain, ni?" Seorang panitia ospek berbadan gempal dan berambut cepak datang. Kulitnya yang hitam menambah kesan menyeramkan dari dirinya.

"Ini, Bay, ada maba yang songong berani ngelawan gue,"
"Yang mana?"
"Ini, si dua kunyuk ini," kak Agni mengarahkan jari telunjuknya bergantian kepadaku dan Dante.

Kak Bayu, panitia bertubuh gempal itu, menatap kami. Tatapannya teduh, kontras dengan perawakannya yang mirip genderwo nyasar di kampus.

"Dek, di sini kalian sebagai maba. Tolong hormati kakak tingkat kalian. Jangan terbawa emosi. Sabar aja. Jangan ngelawan kami," ucapnya pelan.

Kata-katanya barusan berhasil mengguyur api amarahku. Walaupun sebenarnya ada jutaan kata "tapi" yang siap aku lontarkan untuk menanggapi nasihatnya. Aku rasa Dante juga begitu.

Setelah menasihati kami, kak Bayu segera menarik kak Agni keluar dari barisan maba, tepatnya barisan kelompokku. Mungkin dia pun sudah tau watak kak Agni yang belagu dan gampang emosi bisa menghadirkan masalah yang berlebihan antara panitia dengan para mabanya.

Semua panitia kini sudah berbaris di depan. Acara ospek jurusan ini akhirnya sampai pada jadwal penutupan. Para panitia meminta maaf atas semua perlakuannya pada kami. Mereka berdalih itu untuk perbaikan sikap atau menguji mental. Konyol. Sangat klise menurutku.

Aku lihat teman-teman mahasiswa baru sependeritaanku mulai lega. Walau ada beberapa yang menangis, dan masih menyisakan kemarahan. Ada juga yang pipinya merah, tatapannya kosong, kumel dan lain-lain akibat menjadi bulan-bulanan panitia ospek.

Jujur saja, aku sendiri sebenarnya masih emosi pada kak Agni. Bukan karena tamparannya, tapi lebih karena hinaannya. Aku sangat sensitif dengan sebutan "anak mami". Apalagi dengan kata yang tak sempat dia ucapkan. Kata yang dapat merubah duniaku dalam sekejap. Layaknya siang yang berganti malam dalam satu kedipan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented