Senin, 06 Januari 2014

Rahasia Hitam 2

Kembali aku terduduk di taman samping Gedung rektorat. Tempat ini adalah tempat favoritku untuk menyendiri. Selain banyak pepohonan yang membuat sejuk, taman ini juga biasanya sepi. Jarang ada mahasiswa yang singgah di sini.

Lokasinya juga cukup jauh dari gedung fakuktas psikologi tempat aku biasa menimba ilmu. Di sini aku tidak perlu terpengaruh dengan hawa kehadiran seniorku yang tentunya ditakuti teman-temanku.

"Hoi, Res! Lagi-lagi kamu di sini. Ngapain, sih?"
"Iya, Dan. Cuma duduk aja kok."

"Jangan sendirian, Res. Kan udah dibilangin sama ketua angkatan kita. Nanti kamu dicap apatis loh."

Ketua angkatanku memang menyuruh kami untuk tidak sendirian. Kami diwajibkan untuk selalu sama-sama demi kesatuan, kekompakan atau apalah itu aku tidak peduli.

Aku hanya mengangguk untuk membalas ucapan Dante  barusan.

Sudah seminggu berlalu sejak acara ospek itu. Orang yang dahulu membelaku dari kak Agni kini duduk di hadapanku. Dante namanya. Seorang mahasiswa cupu yang sedang berontak dari kecupuannya.

"Gimana? Udah nentuin target buat tugas psikologi dasar?"

"Belom."

"Ayolah, Res. Kita kan harus memperhatikan tingkah laku seseorang tanpa ketauan."

"kalau begitu harusnya kamu gak perlu tau siapa targetku. Lagi pula memang kamu udah punya target, Dan?"

"Hmm.. belom juga sih. Yah, waktunya juga masih lama."

"Cieeee!! Si anak cupu sama anak mami lagi berduaan! Kayak homo." Teriakan itu terdengar dari luar taman. Suara menyebalkan yang sudah sangat aku kenal. Siapa lagi kalau bukan kak Agni.

Orang itu tidak henti-hentinya menghina kami. Tingkahnya seperti anak kecil. Tidak, dia lebih seperti orang gila. Bahkan lebih rendah menurutku.

Aku dan Dante hanya memperhatikannya yang tertawa garing sambil berlalu menuju gedung psikologi.

"Res, aku udah nentuin siapa targetku," Dante tersenyum licik.

"Siapa? Kak Agni?"

Dante tidak mengubah ekspresinya. Aku yakin itu berarti iya. Dante menargetkan kak Agni sebagai objek penelitiannya untuk tugas psikologi. 

"Kamu yakin, Dan?"
"Iya, abisnya dia menarik sih," jawab Dante.

Benar. Kak Agni memang ekspresif. Tingkahnya mencerminkan sifatnya lebih bening dari kaca. Dia menyebalkan tapi karena itu pula dia mudah untuk dinilai.

Berbeda denganku. Siapa yang mau menilaiku? Aku bukanlah orang yang menarik. Aku tidak bisa mengutarakan ekspresiku di depan orang banyak. Aku lebih cenderung membosankan. Aku jarang berkumpul dengan teman-teman. Apatis. Ya, itu sebutan yang mungkin akan aku sandang sebagai penghormatan dari angkatanku.

"Udah sore nih, Res, balik yuk?"

---
Hari-hariku berlanjut dengan membosankan. Hanya kuliah, mengerjakan tugas, makan, dan tidur yang aku lakukan. Oiya, juga merenung di tempat favoritku tentunya.

Sebenarnya aku masih sibuk bertanya. Kenapa aku ada di sini? Di fakultas psikologi? Awalnya aku kira jurusan psikologi adalah tempat orang-orang yang sering dicurhatin. Tempat orang yang paham perasaan orang lain. Seiring waktu, aku mulai menganggap psikolog adalah orang yang memberi masukan, bisa menghipnotis, atau semacamnya. Namun sekarang aku merasa psikolog bagaikan dokter penyakit jiwa. Dan aku yang akan jadi pasiennya.

Aku tidak tertarik dengan curhatan orang-orang. Aku juga tidak mahir memberi masukan untuk teman-temanku. Tidak ada niat untuk aku menjadi motivator, konsultan, apa lagi dokter penyakit jiwa. Seperti yang aku bilang, jika psikologi adalah rumah sakit jiwa, maka aku adalah pasiennya. Apa aku sakit jiwa? Tidak. Aku tidak gila. Mungkin belum.

Bagiku psikologi adalah rumah rehabilitasi. Tempat aku mengenal diriku dan sesuatu yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented