Kamis, 16 April 2015

Downsanian 4

Assalamualaikum, blogs!!
Halo kamu-kamu semua!
Sehat kan? Gue harap semuanya sehat dan baik-baik saja karena lewat post kali ini gue akan menyayat hati kalian semua! Muwahahahahaha!
Ini gue ngapain sih? -__-.

Well, sebenernya sama seperti semua post gue yg berlabel point of view, post kali ini juga memiliki label point if view. Which mean, gue akan coba mendoktrin kalian dengan perspektif gue. Ditambah lagi post kali ini berjudul Downsanian 4. Para pembaca blogs yg lama harusnya tau apa yg akan gue sampaikan jika gue menggunakan judul "Downsanian". Something bad will happen? Tidak juga. Tapi akan ada beberapa kenyataan yang siap gue lempar ke kalian. Berharaplah kau tak punya hati atau ini akan cukup menyakiti!

Gue kasih tau aja, tema kali ini adalah remaja. Yap, gue akan coba mengoyak fase terindah dalam hidup tersebut. Terserah kalau kamu mau menyangkal perspektif gue atau nggak. Gue akan coba untuk gak peduli. Kenapa? Karena kali ini aku tidak sedang bicara padamu. Aku bicara dengan nuranimu..
Baiklah.. mari kita mulai, wahai nurani!
Di post-post sebelum ini, gue udah banyaaaak banget mengungkap perspektif gue tentang sebuah fase yg disebut remaja. Entah gimana gue punya banyak pikiran mengenai fase ini. Mungkin karena gue juga sedang berada di fase ini.
Remaja itu apa sih? Remaja adalah sebuah fase yang dilewati seseorang dengan kisaran umur 12 - 25 tahun sebelum mencapai kedewasaan. Normalnya begitu. Well, umurnya gak nentu juga sih. Gue gak tau usia remaja seseorang itu dimulai dari kapan hingga kapan. Karena itu relatif tergantung perkembangan pola pikirnya. Tapi jika kamu bertanya ke gue tentang definisi remaja, gue akan jawab: "Remaja adalah sebuah fase dimana orang-orang melakukan pembenaran atas semua kesalahan yang dianggap wajar". Oiya, itu gue tulis dengan sedikit emosi dan penuh perasaan.  Gue bisa mengartikan remaja seperti itu berdasarkan apa yang gue lihat di sekitar gue.
Jika mendengar kata "Remaja" sebagian orang pasti akan berpikir itu adalah masa yg paling indah, masa yang paling menyenangkan, masa penuh kebebasan, masa pencarian jati diri, masa dimana kita bisa melakukan hal-hal bodoh untuk bersenang-senang. Masa yg penuh dinamika masalah yang membuat kita jatuh dan bangkit kembali. 1 masa yang tak terlupakan. Ada banyak kenangan di sana. Kenangan manis akan melahirkan tangis rindu yang ingin terulang, kenangan pahit akan melahirkan tawa syukur karena telah berhasil melewati cobaan tersebut. Gue tau itu. Bukannya gue gak punya kenangan pahit atau manis sebagai seorang remaja. Hanya saja.. Apa yg terjadi di sekitar gue ngebuat gue kecewa. Apa yang gue pikirkan begitu mendengar kata "Remaja" kebanyakan adalah hal buruk.
"Remaja".
Yang gue pikirkan adalah orang-orang banyak mengeluh, pola pikir minimalis, mental lemah, bangga terhadap kebodohan, mencari penderitaan, pembenaran bukan kebenaran, serta  kesalahan dianggap wajar dan dimaklumi. Semua dilakukan atas nama "Remaja".
Gue akan bahas satu-persatu.
Dari downsanian 1, 2, dan 3 sifat mengeluh selalu ada di diri mereka. Sama kayak di simbiosis iri hati, mereka iri dengan kemudahan orang lain. Kalo di sekitar gue ya paling mereka mengeluhkan tugas, jadwal kuliah, waktu senggang dan semacamnya. Mereka bilang, "elu mah enak deadlinenya masih lama, gue besok udah harus ngumpulin tugas". Kalo udah begitu gue cuma jawab, "SUKURIN!" sambil tertawa sedih. Gue gak ngerti kenapa mereka selalu memandang orang lain lebih beruntung dari mereka. Dan parahnya pola pikir ini menyebar kayak racun di kalangan remaja.
Berikutnya adalah pola pikir minimalis. FYI, ini gak sama dengan pola pikir praktis dan kreatif. Pola pikir minimalis itu semacam... Apa yg dilakukan itu cuma formalitas untuk memenuhi standar aja. Ini berkembang dari praktikum di jurusan gue. Dari semester 1 setiap kuis selalu ada soal menyebutkan sesuatu gitu. Di soal itu selalu diberi batas minimal.
Misalnya, "sebutkan struktur-struktur geologi minimal 5!"
It's okay. Awalnya. Tapi ini ternyata menjadi doktrin yg menghambat kreatifitas. Sekarang kalo kuis dan ada soal disuruh menyebutkan itu gak dikasih batas minimal. Which mean, kita seharusnya menjawab semaksimal mungkin sebisa kita. Tapi apa yg terjadi? Mereka akan bertanya, "minimal berapa?" Untuk tugas juga sama aja. "Formatnya gimana sih? Isinya yang penting ada ini aja kan?" They said. Gue gak tau ini salah doktrinnya atau emang mental remajanya yg lemah. Soalnya ini juga berlaku sejak ada standarisasi nilai ujian. Kebanyakan hanya akan memikirkan usaha minimal untuk mencapai standar dan lulus.
Pertanyaannya sekarang, bisakah kamu terus menggunakan pola pikir ini dalam hidup? Bisa. Kamu bisa selalu meminimalisir usaha yg dibutuhkan untuk mencapai sesuatu. Gue gak menyalahkan itu. Asalkan tau standarnya. Pertanyaan berikutnya, berapakah minimal pahala yang dibutuhkan untuk memasuki surga? Jawab sendiri.
Selain itu para downsanian itu bangga terhadap kebodohan. Banyak banget yg kayak gini di sekitar gue. Oiya, Dengan menyebut "di sekitar gue" gue sebenernya mau berperan sebagai anomali. Tapi gapapa kalo kamu terlanjur menggeneralisasi. Kamu berhak menilai orang berdasarkan yg kamu lihat. Gue juga berhak menjudge berdasarkan yg gue lihat.
Jadi mereka itu kuliah, mereka ngerjain tugas, begitu ujian mereka bilang "gue gak ngerti apa-apa." Terus mereka melakukan pembenaran dengan bilang, "selama kuliah gue kan tidur terus. Gue jarang masuk. Gue titip absen terus". Sia-sia banget.
Saat disuruh maju sama dosen juga begitu. Kalau yg terpilih adalah yg kurang pintar, pasti diketawain. Entah apa yg lucu dari ketidaktahuan. Tapi orang-orang seperti ini justru dianggap orang yg asik dan bisa buat seru-seruan. Mereka sependeritaan. Sama-sama gak tau, sama-sama males, sama-sama menderita.
Gue pernah bertanya ke seorang tutor yg juga calon trainer yg keren banget tentang caranya jadi orang supel. Soalnya gue ngerasa hidup gue sepi. Gue ingin bisa deket ke orang lain kayak mereka. Salah satu statementnya adalah "orang-orang senang kalau ketemu seseorang yang penderitaannya sama". Misalnya sama-sama nunggu bus. Masalahnya penderitaan gue beda -_-. Ada urf yg senantiasa menghibur. Gue bingung harus apa.
Penderitaan ini paling banyak ditemukan dalam hubungan pacaran. Banyak banget cewek sakit hati. Banyak banget yg mengeluh soal jomblo. Banyak banget yg susah move on. Mereka senang dan bangga kalo menyangkut masalah ini. Gak percaya? Ini buktinya.


Liat Retweetnya? gue rasa itu mencerminkan perasaan hati pengguna sosial media yang sedang patah hati. biasalah paling gara-gara pacaran. Huft... Kenapa mereka seneng banget menderita sih? -_-. Kenapa seneng sama hal-hal kayak gitu?
"Namanya juga remaja. Wajar dong."
Masih ada lagi, blogs!
Tentang pacaran. Kalau kalian seorang remaja mungkin akan seneng kalo ngebahas soal pacaran. Kalau gue sih... Seneng juga. Tapi gak terlalu tertarik. Soalnya gue single dan memilih untuk sendiri. Biarlah diriku dihinggapi sepi sedikit lagi di kehidupan yg fana ini.
Btw, yg mau gue bahas tentang pacaran ini bersumber dari sebuah pertanyaan manusia.
"Lebih enakan pacaran sama cowok baik-baik atau sama badboy?"
Pernah ditanya gitu gak?
Kebanyakan remaja cewek menjawab:
"Enakan badboy. Cowok baik itu ngebosenin"
"Badboy itu walau kadang bikin bete, ngeselin, bikin emosi, tapi bisa romantis dan lebih ngangenin. Cowok baik-baik mah datar aja. Gak seru"
Sebagai laki-laki baik hati gue merasa kalah
-____-
Tapi, blogs, tau nggak? Pertanyaan manusia itu dijawab oleh Yang Maha Kuasa dalam firman-Nya
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)" - Qs: An-nuur ayat 26
Wahai remaja putri, kamu tau kan maksud-Nya? :)
Wanita dan Laki-laki yg baik itu tidak memiliki hubungan yg kalian sebut Pacaran. Hubungan yg men-sah-kan apa yg seharusnya belum di-sah-kan kecuali dengan pernikahan.  Tapi gue tau, kalian akan melakukan pembenaran dengan menjawab,
"Namanya juga remaja."
Terus gue juga pernah mengajukan pertanyaan ke beberapa orang. Pertanyaanya gini:
"Ada 2 jenis keberanian di dunia ini. Berani mengikuti aturan dan berani melanggar aturan. Kamu pilih yang mana?"
Jawaban dari pertanyaan itu sebenernya tinggal pilih salah satu aja. Gak masalah kamu pilih yg mana karena kedua-duanya sama-sama pengecut tapi sama-sama berani juga. Kalo gue akan memilih berani mengikuti aturan. Dan gue menganggap orang yg melanggar adalah pengecut. Sebaliknya orang yg memilih berani melanggar aturan mungkin akan menganggap gue pengecut. It's okay.
Tapi ada 1 jawaban yg menurut gue mencerminkan pengecut yg sebenarnya.
"Tergantung kondisi, dit" itu jawabannya.
"Kalo misalnya ngikutin peraturan itu menguntungkan kita, kenapa nggak? Tapi kalo dalam kasus tertentu misalnya lagi ujian kan wajar kita ngelanggar peraturan"
Ini jawaban yg bener-bener gue anggap pengecut. Kelabilannya dalam memilih jelas menunjukan ciri fase remaja. Pemikirannya yang menganggap kesalahan itu wajar dan dimaklumi itu... Bisa gue pahami tapi gak bisa gue maklumi. Gue gak ngerti kenapa mereka bangga dengan hal ini...
"Namanya juga Remaja, fase menuju kedewasaan"
Tanyakanlah pada nuranimu, jika saat remajanya seperti ini bagaimana ketika sudah dewasa?

1 hal lagi, blogs!
Umumnya untuk remaja cowok. Apa yang kalangan kalian anggap lucu dan menarik untuk ditertawakan? Jawaban yg gue temukan dari menperhatikan tingkahmu adalah sesuatu yg mencerminkan kemunduran mental generasi muda. Tau gak apa? Hal-hal yg Vulgar. Gak percaya? Berapa banyak cowok yg ketawa begitu seseorang membicarakan lelucon vulgar? Ini sering banget di kelas gue, di kampus gue. Biasanya yg memulai leluconnya itu dosen. Niatnya mungkin biar kelas gak sepi dan untuk memecah keheningan yg membosankan. Dan lelucon vulgar itu berhasil! Gelak tawa riuh terdengar seketika. Suasana berubah ramai. Beda sama apa yg ada di pikiran gue. Yg terlintas di pikiran gue saat itu adalah ada yg salah dengan generasi ini. Apa yg lucu dari lelucon vulgar? Gue gak ngerti seperti apa mental remaja sekarang ini. Tapi gue juga paham, seorang remaja yg gak ikut ketawa karena lelucon semacam itu bukanlah remaja yg asik. Remaja yg ketinggalan jaman. Gak seru. Dan itu benar..

But, for your information, ada yg disebut fluktuasi zaman. Sama kayak roda kehidupan. Kadang di atas kadang di bawah. Zaman juga berputar. Ada zaman yg terang benderang, ada zaman gelap gulita. Ada zaman jahiliyah ada zaman Nabi. Dan saat ini kita berada di akhir zaman. Di mana zaman yg baik akan berubah jadi jahiliyah lagi. Menuju keburukan lagi. Buktinya udah banyak. Remaja zaman sekarang adalah buktinya. Karena itu, gue masih bersyukur menjadi remaja yg ketinggalan zaman. Jadi gue belum terpengaruh dan inshaaAllah gak terpengaruh mengikuti zaman yg makin hancur ini. Gue berharap kalian bisa sadar akan hal ini.
Gue gak mau kalian rusak dengan selalu berkata, "Namanya juga remaja".
Gue gak mau kalian memaklumi dan membenarkan semua kesalahan kalian dengan menganggap "itulah sewajarnya remaja"
Lewat tulisan ini gue ingin menyadarkan hati nurani kamu semua tentang seperti apa generasi muda sekarang ini.
Cobalah untuk merenung ke arah mana kita melangkah dalam hidup ini?
Sejauh apa kita menempuh jalan itu?
Apakah jalan yg kita lalui itu akan membawa pada perubahan yg baik atau malah buruk?
Tanyakan pada nuranimu, apakah dia masih hidup? Bagaimana kabarnya? Cobalah untuk berteman dengan hati nurani kalian.
InshaaAllah akan ngebuat kalian jadi lebih baik :)

Assalamualaikum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented