Napasku memburu. Aku merapatkan punggungku pada pohon tinggi
besar di belakangku. Sesekali kusembulkan wajahku dari balik batangnya, mataku
tajam waspada menatap sekitar. Mencari sang pemburu.
“Hei, ketemu!” teriak seseorang mengejutkanku. Hampir saja
aku dibuat pingsan olehnya.
Suara itu berasal dari atas, dari seseorang yang tengah
duduk di ranting-ranting pohon temat aku bersembunyi.
“sial! Aku kalah lagi,”
ucapku, kecewa.
“hahaha.. ini sudah yang kesekian kalinya kamu kalah. Kamu
ini payah sekali dalam bersembunyi,” si pemburu merangkak turun dari pohon.
Ia adalah pemanjat ulung. Tanpa kesulitan dan memakan waktu
lama dia sudah berpijak di tanah. Setara denganku. Sang pemburu kini membuka
kuncir rambutnya, mengibaskan mahkotanya yang terurai bergelombang hingga
sebahu. Penampilannya jadi lebih feminim
walau aku tau dia sangat tomboy.
“Ah! Tidak juga. Kamu aja yang selalu bisa menebak dimana
aku bersembunyi. Kamu kayak Dukun!”
“Hahaha.. terimaksih pujiannya” Gadis itu tersenyum ramah.
Senyum yang sudah berkali-kali aku lihat. Membosankan.
“tapi aku bingung. Bagaimana caranya kamu selalu bisa
menemukanku?” tanyaku penasaran.
“Mudah kok. Dari detak jantungmu.”
“Omong kosong..” jawabku ketus.
“Tidak. Kamu selalu
sembunyi di tempat sepi. Detak jantungmu terdengar jelas olehku.. suara hatimu
juga,”
Mendengar detak jantung? Aneh. Lebih aneh lagi saat dia
mengucapkannya dengan nada datar. Seolah hal ini sudah biasa baginya. Ini
memang bukan kali pertamanya dia membuatku bingung. Pertama, penampilannya yang
feminim kontras dengan wataknya yang tomboy. Dia senang berpetualang ke
tempat-tempat aneh. Entah untuk apa. Lalu kemampuannya dalam memanjat pohon
tidak mencerminkan jiwa perempuannya yang anggun. Aku bisa mengerti mungkin itu
memang ada hubungannya dengan hobi berpetualang gadis itu. Lalu dia juga
satu-satunya orang yang selalu bisa menemukanku dimana pun aku sembunyi. Dengan
mendengar detak jantungku, katanya? Aneh sekali
“Sepertinya kamu bingung.”
Lengkung di bibir gadis itu semakin mengembang. Mengembang dan
terus mengembang. Mengetahui ada tanda tanya besar di benakku. Dia duduk di
sisi lain dari pohon ini sebelum menjawab pertanyaan yang tidak aku lontarkan. Posisinya
membelakangiku. Bersandar pada batang pohon besar ini. Jika tidak ada pohon
besar ini, kami pati sudah saling bersandar. Ah tapi aku tidak sudi melakukan
ituu dengannya.
Dia teman terdekatku. Dia adalah telinga yang mendengar
keluhanku. Dia adalah mata yang menangis saat aku terluka. Dia adalah kaki yang
menginjakku saat aku jatuh. Dia adalah tang yang selalu bisa aku raih. Dan dia
adalah hati yang selalu bisa aku koyak tanpa dendam.
“Jadi...?” aku menunggu jawaban si pemburu.
“Yaaa.. aku hafal sifatmu. Kamu elalu bersembunyi ketika ada
masalah. Tak pernah mau menghadapinya. Dan kamu selalu bersembunyi di tempat
sunyi. Karena itu aku dapat mendengar detak jantungmu” jawabnya.
“... tapi... kadang aku merasa kamu sembnunyi hanya untuk
aku temukan,” lanjutnya dengan nada rendah.
“Apa maksudmu?”
“Saat kamu mendapat masalah, kamu tidak sanggup
menghadapinya, lalu kamu sembunyi dan menunggu aku menemukanmu.”
“..... aku tidak menunggumu... bukan kamu.”
“Lalu?” dia balik bertanya.
Aku ragu untuk menjawabnya. Ini bukan kali pertama aku
bilang aku menuggu seseorang. Aku tidak pernah membertau dia siapa yang aku
tunggu. Kenapa? Tentu saja karena aku pun tidak tau. Aku menanti seseorang
tanpa kepastian. Seseorang yang persis seperti gadis di seberang pohon ini
hanya saja bukan dia. Bukan dirinya. Dia terlalu semu untukku. Terlalu sempurna
hingga aku buta terhadap kekurangannya. Terlalu indah untuk aku miliki. Terlalu
rapuh untuk aku cintai. Cinta? Ya, aku rasa ni cinta. Tapi bukan untuknya. Bukan
dia. Bukan untuk gadis itu.
“Kenapa? Masih belum ingin memberi tau aku?” Dia menegaskan
pertanyaannya.
Aku tidak menjawab. Benakku masih berputar, mencari jawaban
tentang siapa yang aku tunggu. Masih, belum dapat aku temuka jawabannya. Di
ruang pikiranku kini terserak berbagai nama. Orang-orang dalam hidupku dengan
berbagai kenanganku dengan mereka. Pahit-manis, kelam-indah, semua kenangan ada
dalam nama-nama itu. Namun tak satu pun yang bersinar. Tak ada cinta di sana. Tidak
ada nama yang menjadi jawaban penantianku. Atau sekedar untuk menjawab
pertanyaan si pemburu.
Kalau hanya sekedar ingin menjawab pertanyaannya, bisa saja
aku berbohong. Cukup aku sebutkan satu nama. Tapi ini menyangkut cinta. Aku tidak
ingin berbohong. Nama itu harus aku sebutkan dari hati, bukan hanya di bibir.
Lagi pula bila aku bohong dia akan tau lewat detak jantungku, kan?
“hmm.. sepertinya kamu belum mau menjawab ya.. sudahlah..
aku tidak peduli. Kamu selalu begitu. Ini skenario yang membosankan. Kamu sudah
sering melakukannya dan tak pernah memberi aku jawaban” tukas Gadis itu.
“Aku hanya ingin memberi tau kamu sesuatu” tambahnya.
“Jika kamu bertemu dengan seseorang yang kamu tunggu, aku
yakin... dia akan meminta kamu untuk membunuhku.” Dia mengakhiri kalimatnya.
Ini pertama kalinya dia bilang begitu. Nada bicara datar dan
terkesan santai tapi aku tau dia tidak bercanda.
“Apa kamu bilang?”
“Ya, aku yakin dia akan memintamu untuk membunuh aku. Lalu kamu
akan melakukannya. Bahkan tanpa dia suruh pun kamu akan membunuh aku.”
Dingin. Kata-katanya santai namun menusuk. Dia mengeucapkan
kata “Bunuh” seolah itu hal biasa baginya. Layaknya hal itu adalah lelucon.
Lelucon yang sama sekali tidak lucu.
“... maksudmu apa?”
“......... maksud aku orang yang kamu tunggu itu akan
menggantikan aku. Entah dia lebih baik atau tidak, yang jelas dia akan
mengajari kamu cinta. Kamu akan rasakan senang dan sedih bersamanya. Kamu tidak
akan menyisakan ruang untukku. Kamu tidak akan lagi butuh aku.”
Aku tertegun dibuatnya
“... Dia yang akan menemukanmu saat kamu sembunyi. Dia yang
akan menjadi telingamu nanti. Dia akan menopang bahagiamu di atas sedihmu. Dia tidak
akan membiarkanmu jatuh. Dia tidak akan membiarkanmu berteman dengan
kesepian... dia tidak akan membiarkan kamu berteman denganku...” Tambahnya.
Gadis itu meringkuk dibelakangku. Senyum membosankan itu
hilang sudah. Tergantikan sendu yang hanya bisa aku rasakan tanpa bisa aku
lihat. Gemuruh duka sang pemburu berhasil dia tancapkan dihatiku. Menyebalkan!
Dia menemukanku saat aku bersembunyi darinya. Dia mengejarku
saat aku lari darinya. Dia melindungiku saat aku menusuknya dari belakang. Dan
dia mencintaiku saat aku benar-benar membencinya.
adiiiiitttt gua pengen kaya lu deeh sekalian curhat di blog hahaha,
BalasHapusgak boleh ikut-ikut, nggi
Hapus:')
BalasHapuskenapa, fa? -__-
BalasHapus:'(
BalasHapus