Rabu, 22 Januari 2014

Sweet Life from Bitter Struggle

Assalamu'alaikum, blogs.

Eh, blogs, kita sharing lagi ya. Gue baru mendapat suatu pelajaran yang lumayan keren nih. Simak yap!

Gini, blogs, tadi siang gue menjalani suatu aktivitas di kampus. Namanya perwalian. Itu tuh sejenis bimbingan sama dosen wali. Dosen wali tuh orang tua akademik di perkuliahan. Kalo di SMA namanya wali kelas.

Jadi kami cerita-cerita tentang perkuliahan di teknik geologi ini. Well, sebenernya dosen wali gue doang yang cerita. Kami sih sebagai yang dibimbing cuma dengerin. Dia nanyain tentang ujian, remed, kendala keuangan dan lain semacamnya. Terus selain itu dia juga cerita tentang alumni-alumni yang sekarang ini udah pada sukses. Jadi ketua SKK Migas, Departmen Jendral apalah itu, Directur perusahaan dan lain sebagainya.

Dia cerita tentang mereka tuh lama banget. Dia gak sadar dan merasakan betapa mulesnya perut gue saat mendengar ceritanya. Bukan karena ceritanya jelek, lucu, atau ngeselin. Tapi gue emang lagi beneran sakit perut -_-. Akibatnya gue gak terlalu konsen dengerin. Tapi apa yang gue tangkep dari ceritanya itu cukup inspiratif. Sayangnya gak memotivasi. Bukan, bukan karena gue lagi sakit perut nahan hajat-_-.  Tapi karena gue udah bosen denger cerita kesuksesan orang-orang. Gue bosen cuma mengetahui hasil manis yang udah diperoleh seseorang tanpa tau perjuangannya.

Ini dia yang mau gue bahas.
Jadi gini.  Kalian sering gak diceritain tentang tokoh-tokoh kaya, terkenal, dan hebat di dunia? For example, Bill Gates. Siapa yang gak kenal dia? Gue nggak -_-. Kalo gak salah dia pembuat microsoft office atau dia pembuat apple atau apalah gue gak tau. Yang jelas katanya dia tuh kaya raya. Penghasilannya ratusan ribu rupiah per detik (dikutip dari ingatan gue yang entah nyata atau tidak). Hebat ya? Tentu. Dengan penghasilan setinggi itu dia bisa hidup enak. Sukses.

Tapi tau gak bagaimana dia bisa jadi sukses seperti itu? Tau gak apa yang udah dia lewati dan perjuangkan untuk bisa jadi seperti sekarang ini? Itu sebuah jalan yang berat. Katanya dia gak lulus kuliah. Entah karena DO atau apa gitu. Gue gak tau. Pokoknya kabarnya tuh dia gak kuliah. Tapi dia bisa sukses. Kenapa? Karena dia berjuang. Memperjuangkan apa yang menjadi tujuannya hingga bisa jadi seperti sekarang.

Contoh lainnya.. hmm... banyak sih. Gue gak tau bagaimana perjalanan tokoh-tokoh terkenal dunia. Gue cerita tentang yang gue tau aja ya.

Contohnya teman bokap gue. Dia atasannya bokap di perusahaan. Seorang bos atau General Manager. Itu jabatan yang lumayan tinggi.

Coba deh, kalau kalian mendengar atau membaca kata-kata "Bos" atau "Pimpinan perusahaan" apa yang ada di pikiran kalian? Harta? Tahta? Uang berlimpah? atau Rumah megah nan mewah? Kalau itu yang terlintas di pikiran kalian ya itu wajar. Secara, namanya juga Boss. Karena itu pasti gajinya pasti besar, kaya raya, punya rumah lebih dari 1, mobil dan harta lainnya. Enak ya? Pasti.

Tapi, blogs, bokap pernah cerita tentang atasannya itu. Dulu dia itu orang susah. Pernah jualan gorengan buat biaya sekolah, pernah kerja sampingan atau semacamnya. Dia bukan dari keluarga kaya. Dia gak punya harta warisan dari orangtuanya. Tapi dia berjuang. Dia berusaha untuk bisa bangkit dari kesulitannya dan jadi seperti sekarang. Hingga akhirnya dia bisa jadi pempinan suatu perusahaan, punya kehidupan yang baik dan berkecukupan. Sukses masa depannya.

Ada banyak orang di dunia ini yang udah sukses. Mereka berhasil meraih cita-citanya. Mereka hidup enak dengan apa yang dimilikinya. Itu yang kita tau. Itu yang kita kagumi. Dan itu yang kita inginkan.
Jadi sukses seperti mereka.

Tapi pernah gak kita bertanya apa yang udah mereka perjuangkan untuk bisa jadi seperti itu? Apa yang mereka korbankan untuk bisa mencapai kesuksesan?  Apa yang udah mereka lewati untuk sampai di tujuannya sekarang ini? Itu suatu jalan yang sulit. Itu suatu perjuangan, dan itu sebuah pengorbanan.

See?

Dibandingkan cerita kesuksesan orang-orang, tentang bagaimana kehidupan mereka setelah sukses, gue secara pribadi lebih seneng denger cerita tentang perjuangan mereka di masa-masa sulitnya. Daripada denger cerita manisnya hidup mereka saat ini gue lebih pengen tau jerih payah mereka ketika susah. Gue ingin tau gimana mereka berontak dari keadaan mereka yang terbilang buruk dan suram agar jadi lebih baik.

Kenapa? Karena gue pernah mengalami hal kayak gitu. Kalian mungkin bosen dengernya, tapi itu yang gue alami di kelas 7. Itu masa suram gue.

Mungkin saat ini sebagian orang menilai gue sebagai seorang yang baik, pintar, dan sukses (aamiiin). Tapi mereka mungkin gak tau apa yang udah gue lalui untuk bisa jadi seperti itu. Mereka gak tau gimana gue belajar untuk bisa punya kemampuan seperti sekarang ini. Mereka cuma tau gue seorang yang pintar tanpa tau prosesnnya. Mereka tau gue sebagai orang yang berhasil tanpa tau berapa kali gue gagal.

Blogs,
Kita cuma mengagumi indahnya  pelangi tanpa mau menghadapi badai.
Kita mau memenangkan perang tanpa mau bertarung.

Itu ibarat bagi kita yang mau berhasil tapi gak berani menghadapi kegagalan. Mau nekat tapi takut ngambil resiko.
Kalau itu yang terjadi, kita gak akan tau apa itu perjuangan.
Kita mau kesuksesan secara instan tanpa perlu berjuang.

Padahal manisnya sebuah kesuksesan itu adalah akibat dari perjuangan. Nikmatnya keberhasilan itu bener-bener terasa kalau kita sudah berkorban. Serius. Itu beneran loh. 

Tanpa pengorbanan, tanpa perjuangan kesuksesan itu rasanya hampa. Gak ada gregetnya. Terlalu mudah didapetin. Gak berarti lagi.
Karena itu gue pengen bisa berjuang. Demi tujuan gue, demi cita-cita gue. Gue pengen bisa ngerasain manisnya keberhasilan setelah pahitnya perjuangan. Rasanya pasti seger-seger gimanaaa gitu.  Perjuangan ini bisa kita mulai dari langkah-langkah kecil. Apapun itu.

Blogs, gue pengen jadi penulis. Dan blog ini adalah langkah awal gue untuk berkarya. Media gue buat mengutarakan pola pikir gue dan hal-hal lain yang ada di sekitar gue. Gak bisa menghasilkan uang memang, tapi itu bagian dari perjuangan. Suatu saat gue pengen bisa nerbitin buku yang, insya Allah, laris dan jadi bestseller.
Gue tau untuk bisa begitu gue akan mengalami banyak masalah. Mulai dari nyari ide, mentalblock, mengalami penolakan dari berbagai penerbit dan gak diterima di pasaran. Tapi itu bagian dari perjuangan. Dan selama gue gak berhenti berjuang, gue yakin suatu saat gue akan sukses meraih cita-cita gue. Saat itu gue akan merasakan manisnya hasil jerih payah gue. Gue akan dengan bangga menceritakan perjuangan gue ke orang-orang. Lalu kisah gue akan jadi inspirasi dan bisa memotivasi calon-calon pejuang lainnya seperti gue saat ini. Keren kan? Hahaha pasti kerenlah.

Oke, blogs.
Yaa itu yang gue dapet dari perwalian tadi siang. Sebenernya bukan cuma dari perwalian, dari dulu gue udah dikasih tau tentang perjuangan ini. Sayangnya gue baru tersadarkan tadi -_-. Yaudahlah ya gapapa.

Udah ya, blogs.
Gue pamit dulu. Semoga bermanfaat.

Selamat malam :)

Selasa, 21 Januari 2014

Simbiosis Iri Hati

Assalamu'alaikum

Hai, blogs!
Biarkan gue memulai posting kali ini dengan menyebutkan kabar gue di wilayah 2 ini baik-baik aja. Sekarang ini lagi libur semester. Well, gak juga sih. Sebenarnya masih minggu-minggu remedial tapi karena matkul gue gak ada yang remed, otomatis gue libur. Yeay :D

oiya, walaupun libur, gue gak berniat balik ke wilayah 1. Kenapa? soalnya... ya ada sesuatu yg harus dikerjakan di sini. Gue tanpa sengaja masuk dalam suatu kepanitiaan organisasi gitu. Dan acara dari organisasi itu ada pas minggu-minggu liburan. Sebenarnya sih selow aja kalo mau pulang. Tapi gue disuruh belajar tanggung jawab. Gue gak boleh kabur dari tugas gue sebagai panitia. Siapa yang nyuruh? Siapa lagi kalau bukan Urf -___-. Tapi gapapa. Kalian yg di wilayah 1 gak usah khawatir. Gue insya Allah akan pulang pertengahan Februari, saat matahari tepat berada di ekuator (padahal itu 21 maret -_-). Pokoknya gitu dah. Sampai saat itu tiba, tumpuklah rasa rindu kalian padaku dan lepaskan pada saat kita bertemu :) -____-

oke oke. Pembukaannya kepanjangan ya? Maap.

Kali ini gue mau bahas sesuatu dari sudut pandang gue. Emm... sebenernya sih ini umum. Tapi gapapa deh.

Kita mulai ya...

Kalian punya gak seorang teman yang menurut kalian itu hidupnya perfect banget? Dia punya segala sesuatu yang kalian inginkan. Dia punya sikap yang baik, punya banyak teman, pintar, tabungan ada, tampang rupawan dan lain-lain.

Kalian memandang sosoknya sebagai pribadi yang WOW banget. Mengidolakannya. Kagum sama dirinya hingga kadang muncul sikap iri. Kalian ingin menjadi dirinya. Menjalani kehidupan dia.

Sebagai contoh, kita memiliki seorang teman yang bisa dibilang kaya. Tajir. Segala barangnya mewah, mahal, import. Handphonenya canggih. Kalau bateraynya habis, langsung beli yang baru. Dasar gaptek, dia gak kenal chargeran -_-. Yaa pokoknya hidupnya serba berkecukupan bahkan berlebihan.

Pengen gak sih kita punya hidup kayak dia? Gue sih pengen. Jangan diliat dari sisi hedonismenya. Tapi dari handphonenya yg gonta-ganti melulu -_-. Nggak deng. Walaupun itu harta orang tua, tapi kan tetep aja jatohnya ke kita juga.

Contoh lain. Kita punya teman yang hidupnya itu bebas banget. Bisa jalan-jalan kemana-mana, pulang malem, gak dikekang orangtuanya, bebas memilih apa pun jalan hidupnya.

Sementara kita masih dikekang orang tua. Jajan dibatasin, gak boleh pulang malem, lewat dari jam 10 malem langsung dikunciin, selalu ditelponin, gak boleh pacaran dan lain-lain. Hidup terkekang gitu menyebalkan ya? Kita ingin jadi seperti temen kita yang bebas itu. Iri dengan keleluasaan hidupnya. Pernah gak ngerasa kayak gitu?

Atau contoh lain lagi. Kita punya teman yang pinternya kelewat wajar. Dia selalu belajar tekun. hidupnya penuh dengan buku. Kerjaannya belajar, belajar, dan belajar.  Akibatnya dia jadi juara kelas, menang banyak lomba, dapet beasiswa, dan berbagai penghargaan lainnya. Enak? Banget. Masa depannya cerah, terjamin, pintar, dikenal sebagai sosok genius, teladan dan semacamnya. Di lain pihak, kita ini gak pinter-pinter banget. Nilai pas-pasan, sama kayak muka-_-. Gak punya beasiswa, masa depan abu-abu dan segala macam kesuraman lainnya.

Iri gak sih kalau kita ngeliat orang-orang kayak mereka? Sebagian pasti iri. Tenang, gue juga iri kok. Itu wajar. Manusia emang punya sifat iri.

Tapi pernah gak kalian berpikir kalau orang yang hidupnya itu kita idam-idamkan, yang selalu ngebuat kita iri itu sebenernya justru iri sama kita?

Teman kita yang hidupnya serba berlebihan itu sebenernya ingin berhemat, ingin belajar membangun penghasilan dari bawah. Bukan dengan penghasilan orang tua.
Pernah gak kalian mikir di saat kita kagum sama kemewahannya dia, dia justru kagum sama kesederhanaan kita? teman kita yang hidupnya penuh barang mewah itu ternyata kagum dengan kita yang hidupnya tercukupi dengan barang murah.

pernah gak kalian mikir orang yang hidupnya bebas dari kekangan orangtua  justru sebenarnya ingin dekat dengan orangtuanya? Ingin diperhatikan orangtuanya. Dia justru iri ngeliat kita yang selalu dikhawatirkan orangtua kita. Dia ingin nerima telepon dari orangtuanya juga. Siapa yang tau dibalik kebebasannya dari orangtua yang kita idam-idamkan itu sebenarnya dia justru iri dengan perhatian orangtua yang kita dapatkan.

Lalu teman kita yang pinter banget itu sebenernya dia juga ingin bermain. Ingin santai. Dia iri dengan hidup kita yang baginya menyenangkan dan lebih berwarna. Beda dengan hidupnya yang semonoton buku-buku yang dia baca. Di saat kita iri melihat keberhasilan dia, dia justru iri melihat kebebasan kita.

See? Setiap dari kita memiliki rasa iri pada seseorang. Siapa pun itu. Pasti kita punya rasa iri. Tapi sadar gak kalian kalau di luar sana banyak orang yang iri dengan kehidupan kita? Di luar sana justru banyak orang yang ingin jadi seperti kita.

Contoh paling mudahnya, anak jalanan yang hidupnya bebas, banyak bermain itu ingin mengenyam pendidikan sekolah. Sementara kita yang sekolah, ingin rasanya hidup bebas seperti anak jalanan itu. Kenapa? Karena kita gak tau masalah apa yang kita hadapi masing-masing.

Anak jalanan mana tau masalah kita di sekolah yang dikasih banyak tugas, ulangan, ujian dan lain-lain. Sedangkan kita mana tau masalah anak jalanan yang harus ngamen buat makan, panas-panasan, menghirup debu jalanan dan sebagainya. Kita iri pada bagian nikmatnya hidup orang lain tanpa mau mengenal apa yang udah orang lain itu lakukan. Kita cuma memandang sisi enaknya aja tanpa melihat usahanya. Wajar? Wajar kok. Namanya juga manusia.

Gue pun begitu.
Mungkin di luar sana ada orang yang kagum sama gue. Entah itu karena menurut dia gue itu pinter, rajin atau apalah. Wait, gue gak bermaksud sombong. Dia ngerasa gue akan sukses di masa depan. Dia iri dengan kemampuan gue. Dia minder dengan kemampuannya yang terbilang pas-pasan. Dia punya cita-cita dan mimpi yang tinggi tapi ngerasa kemampuannya gak cukup buat wujudin itu.

Dia bilang, "kalau gue sepintar elu mungkin gue bisa ngewujudin cita-cita gue dengan mudah, dit." Ada orang yang bilang kayak gitu dulu.

Tapi tau gak? Gue justru iri sama dia. Gue punya kemampuan tinggi, tapi gue gak punya mimpi. Cita-cita gue gak tinggi-tinggi banget. Malah sebenarnya gue gak tau cita-cita gue mau jadi apa-_-. Gue iri ngeliat dia yg punya kemampuan di bawah gue tapi punya mimpi yang lebih tinggi.

Ada juga temen gue yang kagum/iri dengan gue soalnya gue jarang belajar tapi nilai gue bagus. Dia menganggap gue pinter. Sementara dia yang belajarnya rajin, tekun itu nilainya masih standar. Dia iri ngeliat gue yang dengan jarang belajar tapi hasilnya memuaskan. Tapi pernahkah dia berpikir di sisi lain gue iri ngeliat usahanya? Gue pengen bisa berusaha kayak dia, belajar giat kayak dia. Gue pengen jadi orang yg rajin dan tekun begitu.

Blogs, gue dapet perumpamaan keren tentang masalah yang gue bahas kali ini.

"Bebek berjalan bergerombol di darat, Elang terbang sendirian di langit."

Mungkin bebek-bebek itu iri ngeliat Elang yang terbang bebas di langit. Tapi siapa yang tau kalau si Elang itu sebenarnya ingin bisa bergerombol dengan kawan-kawannya kayak si bebek.

Lewat post kali ini gue pengen menunjukan sesuatu yang sangat penting yang harus kita lakukan. Ya, bersyukur. Banyak di antara kita yang mungkin masih sering melupakan itu. Jujur aja, gue juga kok.

Bersyukurlah. saat kita iri dengan kehidupan orang lain, di sisi lain masih ada orang yang iri dengan kehidupan kita. Saat kita mengeluh dan menganggap masalah orang lain lebih mudah, ada orang yang mengeluh dan menganggap masalah kita itu mudah. Selalu begitu.

Ada yang tau kenapa? Karena Tuhan itu maha Adil. Gak ada kehidupan manusia yang sempurna. Kita semua memiliki sifat iri kepada orang lain. Itu mungkin sebenarnya untuk motivasi diri agar jadi lebih baik. Ya, kalau kita bisa mencegah rasa iri berubah jadi dengki. Gimana cara mencegahnya? Bersyukur.

Bersyukur atas apa yang kita miliki dan bersyukur atas apa yang kita tidak miliki.

Mudah-mudahan postingan kali ini lebih bermanfaat ya.

Sebelum gue tutup, lets say Alhamdulillah :)

oke. sekian dulu, blogs

Assalamu'alaikum

Senin, 13 Januari 2014

Rahasia Hitam 3

"Ayo, Res, cepetan!" Dante berbisik padaku.
Matanya tak henti-hentinya memperhatikan gerak-gerik seseorang. Mengikutinya selangkah demi selangkah sambil sesekali bersembunyi di balik pepohonan warga.

Suasana saat itu sepi. Hanya ada aku, Dante, dan seseorang yang menjadi objek tugas Dante yang sepertinya tidak menyadari keberadaan kami.

Pagi tadi Dante mengajakku untuk mengikuti kak Agni untuk mengetahui sikapnya di luar jam kuliah. Rencana itu dia lakukan setelah puas membuntuti kak Agni berhari-hari di kampus. Dari hasil penyidikannya, Dante mencatat beberapa sikap kak Agni: Sombong, suka menghina, mudah marah, jahil, mudah menyerah dan entah apa lagi keburukannya. Namun aku juga mendapati dalam catatan itu: mudah bersosialisasi, tidak pelit, dan setia kawan. Aku tidak tau itu benar atau salah tapi itulah yang aku baca.

"Res, dia masuk ke gang kecil tuh! Ayo!"

Aku dan Dante terus mengikuti langkah kak Agni. Dari mulut gang kecil itu aku bisa melihat 4 orang yang mungkin adalah temannya. Mereka tampak menyeramkan, bertatto dan berbaju rombeng layaknya preman. Tunggu, aku rasa mereka memang preman. Aku tidak pernah melihat mereka di kampus. Asing. Ya, mereka asing buatku.

"Kak Agni mau apa di sini?"  Bisik Dante.

Dia tercengang melihat pemandangan di dalam gang sempit itu. Botol-botol bir tergeletak di sembarang tempat. Tak lupa tumpukan kartu serta lembaran uang puluhan ribu siap menjadi permainan mereka.

"Dan, kayaknya kita harus pergi sekarang," aku menarik tangan Dante.

"Nanti dulu! Aku masih mau nyelidikin kak Agni," bisiknya dengan nada tinggi.

"Ayo, Dan! Ini udah gak bener! Kita harus pergi sekarang!"

"Eh! Ngapain kalian di sini!?" Suara itu terdengar jelas di belakang kami. Mengejutkan aku dan Dante serta para pemain kartu di ujung gang kecil ini.

Aku dan Dante tidak menjawab. Kami masih bungkam. Jantungku berdegup lebih cepat seiring langkah orang-orang bermuka barbar itu mendekat, termasuk kak Agni.

"Ares? Dante? Ngapain kalian di sini?!" Pertanyaan itu terulang, kali ini oleh suara yang lebih familiar.

Tetap saja kami tidak menjawab. Kami terlalu takut dengan 6 orang yang mengepung kami.

"Lo kenal mereka, ni?"
"Mereka adik kelas gue di kampus"

"Kak! Ngapain kakak di sini?!" Dante memberanikan diri.
"Ngapain? Suka-suka gue dong mau ngapain di sini. Ada urusan apa lo ke sini?"

"Oh kalian ngebuntutin gue ya? Mau nyari tau tentang gue? Berani juga si cupu sama anak mami ini. Hahaha."  Ucap kak Agni setelah mengambil buku catatan Dante.

"Sebagai ucapan selamat karena udah berani ke sini, rasain nih!" Satu pukulan mendarat di perut Dante. Ia langsung tersungkur lemas. Aku pun tak luput dari sasaran kak Agni. Pukulannya mengenai wajahku.

"Guys, ayo dong! Sambut tamu kita yang berani ini!" Kak Agni mengajak 5 temannya untuk menjadikan kami bulan-bulanan mereka.

Tiga orang di antara mereka memukulku tanpa ampun. Tendangan dan pukulan aku tahan sekuat tenaga. Ingin rasanya aku balas. Tapi aku tidak berdaya. Aku lemah. Rasa sakit terlanjur merasuk ke sarafku memberi rangsangan yang melumpuhkan  seluruh tubuhku.

Nasib Dante tak jauh berbeda dariku. Dia juga menahan rasa sakit dari penindasan fisik ini. Kulihat dia menangis. Mungkin hanya itu luapan emosi yang bisa dia keluarkan sekarang.

Sekitar 5 menit pukulan dan tendangan mereka menghantam kami. Kak Agni mendekati aku yang meringkuk di aspal.

"Gimana  anak mami yang satu ini? Mami lo mana? Jauh ya tinggalnya? Kalau papi lo? Tunggu, emang lo punya papi? Papi elo aja gak jelas. Papi elo pasti cuma om-om yang rela ngebayar mami lo buat ngelahirin elo tanpa nikah. Iya kan? Dasar anak haram!" Ucap kak Agni dengan seringainya yang sangat kupandang rendah.

Deg! Jantungku berdegup lebih cepat. Jauh lebih cepat. Ini seperti saat ospek dulu tapi kali ini terasa lebih nyata. Kata itu terlanjur diucapkan.

Hinaan kak Agni membakar emosiku lebih cepat daripada rasa sakit di tubuhku yang pudar perlahan. Merubahnya menjadi tenaga super untuk aku bangkit dari aspal tempat aku berbaring. Namun aneh. Aku masih merasa lumpuh. Seolah aku kehilangan kendali atas tubuhku. Bahkan kesadaranku mulai tergantikan oleh sesuatu yang terus bergumam di kepalaku,

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"



Senin, 06 Januari 2014

Rahasia Hitam 2

Kembali aku terduduk di taman samping Gedung rektorat. Tempat ini adalah tempat favoritku untuk menyendiri. Selain banyak pepohonan yang membuat sejuk, taman ini juga biasanya sepi. Jarang ada mahasiswa yang singgah di sini.

Lokasinya juga cukup jauh dari gedung fakuktas psikologi tempat aku biasa menimba ilmu. Di sini aku tidak perlu terpengaruh dengan hawa kehadiran seniorku yang tentunya ditakuti teman-temanku.

"Hoi, Res! Lagi-lagi kamu di sini. Ngapain, sih?"
"Iya, Dan. Cuma duduk aja kok."

"Jangan sendirian, Res. Kan udah dibilangin sama ketua angkatan kita. Nanti kamu dicap apatis loh."

Ketua angkatanku memang menyuruh kami untuk tidak sendirian. Kami diwajibkan untuk selalu sama-sama demi kesatuan, kekompakan atau apalah itu aku tidak peduli.

Aku hanya mengangguk untuk membalas ucapan Dante  barusan.

Sudah seminggu berlalu sejak acara ospek itu. Orang yang dahulu membelaku dari kak Agni kini duduk di hadapanku. Dante namanya. Seorang mahasiswa cupu yang sedang berontak dari kecupuannya.

"Gimana? Udah nentuin target buat tugas psikologi dasar?"

"Belom."

"Ayolah, Res. Kita kan harus memperhatikan tingkah laku seseorang tanpa ketauan."

"kalau begitu harusnya kamu gak perlu tau siapa targetku. Lagi pula memang kamu udah punya target, Dan?"

"Hmm.. belom juga sih. Yah, waktunya juga masih lama."

"Cieeee!! Si anak cupu sama anak mami lagi berduaan! Kayak homo." Teriakan itu terdengar dari luar taman. Suara menyebalkan yang sudah sangat aku kenal. Siapa lagi kalau bukan kak Agni.

Orang itu tidak henti-hentinya menghina kami. Tingkahnya seperti anak kecil. Tidak, dia lebih seperti orang gila. Bahkan lebih rendah menurutku.

Aku dan Dante hanya memperhatikannya yang tertawa garing sambil berlalu menuju gedung psikologi.

"Res, aku udah nentuin siapa targetku," Dante tersenyum licik.

"Siapa? Kak Agni?"

Dante tidak mengubah ekspresinya. Aku yakin itu berarti iya. Dante menargetkan kak Agni sebagai objek penelitiannya untuk tugas psikologi. 

"Kamu yakin, Dan?"
"Iya, abisnya dia menarik sih," jawab Dante.

Benar. Kak Agni memang ekspresif. Tingkahnya mencerminkan sifatnya lebih bening dari kaca. Dia menyebalkan tapi karena itu pula dia mudah untuk dinilai.

Berbeda denganku. Siapa yang mau menilaiku? Aku bukanlah orang yang menarik. Aku tidak bisa mengutarakan ekspresiku di depan orang banyak. Aku lebih cenderung membosankan. Aku jarang berkumpul dengan teman-teman. Apatis. Ya, itu sebutan yang mungkin akan aku sandang sebagai penghormatan dari angkatanku.

"Udah sore nih, Res, balik yuk?"

---
Hari-hariku berlanjut dengan membosankan. Hanya kuliah, mengerjakan tugas, makan, dan tidur yang aku lakukan. Oiya, juga merenung di tempat favoritku tentunya.

Sebenarnya aku masih sibuk bertanya. Kenapa aku ada di sini? Di fakultas psikologi? Awalnya aku kira jurusan psikologi adalah tempat orang-orang yang sering dicurhatin. Tempat orang yang paham perasaan orang lain. Seiring waktu, aku mulai menganggap psikolog adalah orang yang memberi masukan, bisa menghipnotis, atau semacamnya. Namun sekarang aku merasa psikolog bagaikan dokter penyakit jiwa. Dan aku yang akan jadi pasiennya.

Aku tidak tertarik dengan curhatan orang-orang. Aku juga tidak mahir memberi masukan untuk teman-temanku. Tidak ada niat untuk aku menjadi motivator, konsultan, apa lagi dokter penyakit jiwa. Seperti yang aku bilang, jika psikologi adalah rumah sakit jiwa, maka aku adalah pasiennya. Apa aku sakit jiwa? Tidak. Aku tidak gila. Mungkin belum.

Bagiku psikologi adalah rumah rehabilitasi. Tempat aku mengenal diriku dan sesuatu yang lain.

Sabtu, 04 Januari 2014

Rahasia Hitam 1

"Aaa... AAAAHHH!!" suaranya menggema dalam ruangan kosong yang pengap ini. Aku masih bisa mendengarnya walau rasanya sebentar lagi aku akan tuli. Masih bisa aku rasakan pisau menancap di dada kiriku. Sakit? Tidak. Aku mati rasa. Aku yakin sebentar lagi aku pun akan mati raga, juga jiwa. Aku kehilangan nyawa.

"AREEESSSS!!!" Dia mengguncang tubuhku yang bersimba darah.
Matanya terbuka lebar menatapku seolah tak percaya dengan apa yang ditangkap indra penglihatannya.

Kunikmati detik-detik terakhirku menatap wajah panik Dante, sahabatku. Orang yang paling mengenaliku, bahkan melebihi ibuku.

Aku tersenyum melihat darahku yang berlumuran di tangannya.  Sebilah pisau yang tertanam di jantungku juga adalah miliknya. Ya, dia yang membunuhku.

----

"SIAPA KALIAAAN?!" Teriakan  panitia ospek membuat bisu para mahasiswa baru.
Senyap, kami diam mematung.

"JAWAB!! Punya mulut, nggak?!" kali ini suara cempreng keluar dari mulut mbak Thita. Matanya yang sipit dipaksakan melotot demi  menghardik serdadu pelajar berpakaian putih hitam lengkap dengan atribut ospek yang menjadikan kami bak orang gila.

"Aku tanya sekali lagi. SIAPA KALIAAAN?!" teriakan itu terdengar lebih keras kali ini seperti gemuruh petir di tengah teriknya matahari.

"Mahasiswa Psikologi Universitas Prima Tamaya!" sayup-sayup terdengar sahutan tunggal dari barisanku.
Dante, ketua kelompokku, menjawab.

"Cuma satu orang yang menjawab? SIAPA KALIAN?!" Ini ketiga kalinya aku dengar  pertanyaan yang sama. Membosankan.

"MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS PRIMA TAMAYA!!!" kali ini lebih banyak suara yang menyambut teriakan panitia ospek bermuka sangar itu.

kami masih berdiri dijemur di bawah terik matahari siang ini. Sudah hampir dari 1 jam yang lalu kami mendapat bentakkan, umpatan, dan sesekali tamparan dari panitia ospek. Menyebalkan memang, tapi inilah yang harus kami jalani. Paling tidak untuk 4 bulan kedepan.

"WOY! Ngapain bengong?!" Satu tamparan keras dari kak Agni melayang ke arahku. Aku tidak membalasnya. Aku tahan rasa perih di pipi kananku dan berusaha tetap meredam emosi. Tetap diam di tempat dengan tatapan kosong  terkunci pada tengkuk leher Dante yang berdiri tepat di depanku.

"Oh jadi Ares bisa masuk universitas juga ya. Si 'anak mami' yang satu ini udah siap lepas dari maminya ya? HAHAHA," tawa kak Agni terdengar menjijikan. Aku tau dia berusaha memancing emosiku.

'Sabar.. tenang aja, Res, jangan terbawa emosi. Jangan termakan omongan kak Agni' batinku terus mengingatkanku. Aku harus tetap tenang dalam kondisi ini.

Belum puas menghinaku dengan sebutan anak mami, kak Agni kini mendekatkan bibirnya ke telingaku.
"Dengar ya, Res, aku tau kalau kamu itu anak ha.."

"Kak, cukup!" Dante memotong bisikkan Kak Agni yang merupakan kakak kelas kami di SMA yang beda 2 tahun di atas kami.

"Jangan ganggu Ares, kak!" Ucap Dante tegas seolah tau apa yang mau kak Agni ucapkan. Aku sendiri sebenarnya tau lanjutan dari kalimat kak Agni tadi. Kalau saja Dante tidak memotong bisikannya, mungkin saat ini emosiku sudah meledak.

"Kalau aku gangguin dia, kamu mau apa?"

Dante menatapnya tajam, walau aku tau sebenarnya dia takut pada kakak kelasku yang terkenal preman di SMA. Sialnya kami harus satu kampus dengannya, ditambah lagi dia adalah panitia ospek yang memiliki kuasa untuk menganiaya mahasiswa baru seperti kami.

Dante tidak menjawab. Hanya emosinya yang menyiratkan geram di raut wajahnya. Berbeda dengan kak Agni yang hanya dengan menyeringai mampu menciutkan nyali Dante.

"Jadi gimana? Kalau aku gangguin dia, kamu mau apa, hah?" Orang barbar itu mendongakkan dagunya. Sikapnya benar-benar menantang Dante yang terkesan alim dan cupu waktu SMA.

"Kamu ngapain, ni?" Seorang panitia ospek berbadan gempal dan berambut cepak datang. Kulitnya yang hitam menambah kesan menyeramkan dari dirinya.

"Ini, Bay, ada maba yang songong berani ngelawan gue,"
"Yang mana?"
"Ini, si dua kunyuk ini," kak Agni mengarahkan jari telunjuknya bergantian kepadaku dan Dante.

Kak Bayu, panitia bertubuh gempal itu, menatap kami. Tatapannya teduh, kontras dengan perawakannya yang mirip genderwo nyasar di kampus.

"Dek, di sini kalian sebagai maba. Tolong hormati kakak tingkat kalian. Jangan terbawa emosi. Sabar aja. Jangan ngelawan kami," ucapnya pelan.

Kata-katanya barusan berhasil mengguyur api amarahku. Walaupun sebenarnya ada jutaan kata "tapi" yang siap aku lontarkan untuk menanggapi nasihatnya. Aku rasa Dante juga begitu.

Setelah menasihati kami, kak Bayu segera menarik kak Agni keluar dari barisan maba, tepatnya barisan kelompokku. Mungkin dia pun sudah tau watak kak Agni yang belagu dan gampang emosi bisa menghadirkan masalah yang berlebihan antara panitia dengan para mabanya.

Semua panitia kini sudah berbaris di depan. Acara ospek jurusan ini akhirnya sampai pada jadwal penutupan. Para panitia meminta maaf atas semua perlakuannya pada kami. Mereka berdalih itu untuk perbaikan sikap atau menguji mental. Konyol. Sangat klise menurutku.

Aku lihat teman-teman mahasiswa baru sependeritaanku mulai lega. Walau ada beberapa yang menangis, dan masih menyisakan kemarahan. Ada juga yang pipinya merah, tatapannya kosong, kumel dan lain-lain akibat menjadi bulan-bulanan panitia ospek.

Jujur saja, aku sendiri sebenarnya masih emosi pada kak Agni. Bukan karena tamparannya, tapi lebih karena hinaannya. Aku sangat sensitif dengan sebutan "anak mami". Apalagi dengan kata yang tak sempat dia ucapkan. Kata yang dapat merubah duniaku dalam sekejap. Layaknya siang yang berganti malam dalam satu kedipan mata.

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented