Rabu, 14 Agustus 2013

First Region Ends


 Assalamu'alaikum, Blogs :)

Ini adalah  Post terakhir yang akan gue posting dari wilayah gue saat ini. Wilayah Banten.
Jadi karena itu, gue harus nanyain kabar kalian nih.

Apa kabar semuanya? Plis, jangan jawab "LUAR BIASA!!!" -_-. Ini norak banget.
Oke, udah baca judulnya 'kan?
Post ini akan menjadi salam perpisahan gue dengan wilayah ini beserta isinya. Jadi mungkin agak melow unyu menye gitu :3 -___-.
Baiklah. 

Kamis, 08 Agustus 2013

Too Much Love Will Kill Love

assalamu'alaikum, blogs :)
Tunggu, gue gak mau nanya kabar kalian. Udah cukup gue menanyakan itu pada kalian dan kalian gak pernah nanyain kabar gue -_-. Dasar gak perhatian!

Post kali ini gue mau melanjutkan pembahasan tentang.... HL-key. Udah baca kan? yang tentang pacaran itu loh. Nah, gue mau bahas ini lagi. 
Simak yap!

Gini, blogs, semua ini berawal dari 1 pertanyaan besar yang akhir-akhir ini mengganggu pikiran gue. Pertanyaan besar yang ngebuat gue harus menggeledah masa lalu. Gue mencari jawaban dari pertanyaan ini di kenangan-kenangan gue tapi gak gue temuin. Tau gak pertanyaannya apa?
"kapan terakhir kali gue mengucapkan 'i love u' atau mendapat ucapan itu?"
udah, itu doang pertanyaannya. Dan gue.... harus mikir berulang kali untuk mencari jawabannya -_-.
Menurut perhitungan gue, jawabannya adalah sekitar... Emm.. mungkin 5 tahun yang lalu -_-. Ngenes? nggak sih. gue gak ngerasa ngenes.

Rabu, 07 Agustus 2013

Lonely Winter: End of Dream

Aku tiba di stasiun kota. Stasiun yang sangat aku kenali dengan sejarah pertemuanku dengan seorang gadis dari mimpiku.

Entah kenapa aku kembali ke tempat ini. Sendiri tanpa tempat tujuan untuk melanjutkan. Untuk bernostalgia? Tidak. Aku rasa aku hanya ingin ada di sini. Ya, seorang diri di tempat ini.
Tapi mana mungkin? Stasiun kota selalu saja ramai. Orang-orang berlalu-lalang melewatiku yang hanya berdiri termenung. Tak ada yang bertanya tentang apa yang aku pikirkan. Tak ada yang peduli. Aku sendiri ragu mampu menjawabnya seandainya benar ada yang bertanya. Kenapa? Aku tidak tau. Pikiranku terlalu penuh sehingga terasa kosong.

Lonely Winter: Tears 2

Gelap. Pandanganku hitam pekat. Tubuhku terbujur kaku di pinggir jalan. Diam mati rasa. Aku berada di ambang batas kesadaran. Apa aku akan hidup kembali? Atau aku akan tertidur untuk selamanya?
Aku dengar langkah kaki orang-orang. Samar-samar aku dapat melihat mereka mendekat. Mereka memanggilku di sela-sela dengung yang masih mengganggu telinga.
"Kamu gapapa?" Tanya salah seorang yang mendatangiku.
Aku tidak menjawabnya. Dadaku terlalu sesak untuk bicara saat ini.

Aku lihat keadaan sekitar. Orang-orang berkerumun di depan mobil sedan yang menghantamku. Apa mereka meminta tanggung jawab dari sang pengemudi? Tidak. Kulihat ada jasad yang terbaring di depan sedan itu. Jasad seorang perempuan yang sangat aku kenal.

Lonely Winter: Batas kesadaran


Waktu menunjukkan pukul 20.27
Kami memutuskan untuk kembali ke stasiun.

Malam cerah di ibu kota. Gemerlap lampu di sepanjang jalan menghiasi jalan yang kami lalui. Ditemani suara hiruk pikuk kendaraan yang masih berlalu-lalang bersaing dengan lantunan lagu anak jalanan yang menengadahkan tangan penuh iba. Berharap kepingan receh dari sebagian mereka yang bahkan tak sudi menatapnya. Inilah ibu kota. Tempat yang keras dengan orang-orang yang tidak lagi peduli sesama. Aku pun begitu. Untuk saat ini.

Lonely Winter: Broken Promise

"Soal pacar itu... gue bohong,"
Pernyataanku barusan mengejutkan Cleva lebih dari sebelumnya.
"Sebenarnya gue nggak pacaran. Gue cuma pura-pura,"
"... Kenapa?" tanya Cleva.
"Karena gue gak boleh jatuh cinta sama lo, Clev,"
Entah apa yang dia pikirkan setelah kujawab pertanyaannya dengan sesuatu yang menurutku sangat konyol.
Sejenak keheningan merajai di antara kami.
".... Begitu ya," kekecewaan terdengar dari nada bicara gadis itu.
Sebenarnya aku tidak tega membongkar kebohonganku hanya dari mendengar suaranya barusan. Namun aku tetap melanjutkan dan mengakhiri ini semua.
"Lo inget janji kita di malam tahun baru?"

Lonely Winter: Frozen Crescent

Kami tiba di Arthapura, salah satu mall terkenal di kota. Tempat yang sama dengan waktu pertama kali aku melakukan perjalanan sia-sia dengan Cleva. Kali ini aku tidak ingin menjadikannya seperti tahun lalu yang hanya berjalan tanpa tujuan bersama perempuan aneh yang menuduhku pencopet.
Perempuan itu kini di sampingku. Berjalan berdampingan dengan mata terbuka lebar mengagumi dekorasi tahun baru di mall. Pernak-pernik natal juga menghiasi beberapa sudut toko. Tak lupa papan dan spanduk bertuliskan potongan akhir tahun tergantung di salah satu toko baju ternama. Walau pun begitu, bagiku tetap saja mahal.
Kami berhenti di restauran yang sama seperti sebelumnya. Aku sengaja memilih tempat ini untuk sedikit bernostalgia. Cleva pun tidak ada masalah dengan itu.

"Lo masih inget tempat ini 'kan, Clev?" kataku setelah kami duduk di tempat yang sama persis dengan tahun lalu.

Lonely Winter: December

December.
Sudah berbagai tempat aku kunjungi seorang diri. Dengan hobinya yang suka menjelajah, aku rasa Cleva juga begitu. Gadis itu hampir tak pernah lagi memberi kabar. Komunikasiku dengannya sudah terputus berminggu-minggu yang lalu. Kami tidak berusaha saling menghubungi lagi. Setidaknya aku begitu. Walau sebenarnya aku sangat ingin bertemu. Entah bagaimana rasa gengsi mulai menghalangi sejak kunyatakan aku punya pasangan. Aku tidak menyangka hal itu berpengaruh hingga sekarang.
Setahun sudah aku mengenalnya. Kini aku kembali ke tempat pertama kali kami bertemu. Stasiun Kota. Entah apa yang membuatku ingin ke sini. Aku memutuskan menutup perjalanan seorang diriku di tempat ini.
Hari telah menjelang sore saat aku tiba. Sinar oranye menerpa tiang-tiang stasiun yang tampak lebih usang. 
Sebagai stasiun utama, suasana stasiun Kota memang tetap ramai pada saat libur akhir  tahun. Antrean di loket terlihat cukup panjang. Beberapa pengantre saling serobot seperti biasa. Sementara yang lain hanya bersabar  dan sebagian mencoba menegur. Pemandangan biasa untukku.

Lonely Winter: Walk On Your Path

Beberapa waktu berikutnya aku mencoba lebih memahami Cleva. Melakukan perjalanan seorang diri tanpa tujuan. Aku ingin tau apa yang dia rasakan.

Aku mengunjungi tempat yang pernah dia ceritakan. Pemandian air panas dan yang lainnya. Tidak banyak yang bisa aku lakukan seorang diri di tempat semacam ini. Aku hanya berkeliling memandang hamparan alam hijau dari puncak bukit kapur yang dulu dia bicarakan. Memang tenang rasanya. Melepas penat dari rutinitas kehidupan. 
Aku bisa menghirup udara segar dan memperhatikan pengunjung lain. Senang rasanya, tapi tanpa Cleva.. ini tidak sempurna.

Aku juga pergi ke museum Rajawali. Sudah 9 bulan sejak terakhir aku ke sini. Patung burung besar yang dulu kulihat di pintu masuk masih tetap sama. Masih menganga dengan gagah berani. Begitu pula dengan ruangan koleksi museum Rajawali.

Aku memasuki ruang pepohonan. Ruang pertama dari serangkaian ruangan di museum ini. Tidak ada yang berubah. Tidak ada tambahan atau pengurangan spesies dari kunjungan terakhirku. 
Aku memperhatikan mahluk hidup hijau itu. Dulu aku hanya melihat strukturnya. Tapi kini, seperti Cleva, aku mulai mempelajari keterangan dari apa yang aku amati.

Di ruangan berikutnya pun begitu. Ruangan yang dipenuhi hewan. Mulai dari yang biasa aku lihat hingga jenis yang langka tak luput dari pengamatanku. Terkadang aku menemukan fakta aneh dari spesies yang sudah punah. Dulu aku hanya sekedar melihat bentuk mereka. Tapi sekarang aku coba mempelajari koleksi fauna di museum Rajawali.
Aku memasuki ruangan dengan kumpulan serangga. Tidak terlalu banyak pengunjung di ruangan ini. Hanya orang tua dan beberapa remaja yang mungkin seusiaku.
Berbeda denganku mereka tidak pergi seorang diri. Dari ruangan ini aku bisa melihat mereka belajar bersama, bercanda, serta mengambil potret diri mereka. Mendengar tawa mereka di tengah kesendirianku. Aku coba untuk tak acuh. Ku lanjutkan langkahku  hingga berada di depan satu koleksi serangga bersayap lebar. Kumpulan kupu-kupu.
Salah satu jenis serangga cantik itu menarik perhatianku. Kupu-kupu bulan sabit. Serangga yang hidup di puncak gunung. Cantik.. seperti Cleva.
Sesaat pikiranku kembali  ke hari kunjunganku bersama Cleva. Saat dia memberi tau arti namanya. Cresentia Cleva.. bulan sabit di puncak gunung. Nama yang cantik seperti dirinya. Andai dia ada di sini.. Apa yang akan dia katakan? Dia pasti akan membuatku salah tingkah dengan senyumannya lagi. Lalu dia akan kembali membahas berbagai fakta tentang flora dan fauna yang baru dia pelajari. Atau sekedar memandang sekelilingnya dengan raut wajah polos. Itulah Cleva. Seorang perempuan aneh dari mimpiku.
Cukup lama aku di ruangan serangga. Kini aku menuju replika gua tempat manusia purba. Relief di dinding serta tanaman rambat menjadikan semua terlihat nyata. Di kiri dan kanan gua berjejer patung manusia purba yang disesuaikan dengan kelompoknya. Lengkap dengan peralatan kuno yang dulu mereka gunakan. Ada juga tulang belulang yang ditata rapih termasuk sebagian kerangka dinosaurus. Sebagian menarik perhatianku. Misalnya tengkorak dinosaurus bertanduk yang ditemukan di Mojokerto. Bentuk tengkoraknya yang lebar dan kokoh membuatku membayangkan seandainya tengkorak itu digunakan sebagai perisai saat bertempur. Pastilah pasukan yang memakainya akan terlihat lebih hebat. Tapi itu hanya imajinasi. Hanya ada di pikiranku.
Aku selesai menjelajah museum Rajawali. Berikutnya aku memutuskan menuju restauran tempat dulu aku beristirahat dengan Cleva. Aku duduk di kursi yang sama.

Tak ada yang berubah selain orang-orang di sekitarku. Dan bangku kosong yang tergeletak di hadapanku. Dulu seorang perempuan murah senyum dan menyukai petualangan pernah duduk di sana. Dengan mata yang sedikit tertutup poni memandang ke arahku penuh rasa ingin tau. 
Dia mengusik sesuatu tentang mimpi yang telah ku lupa dan menceritakannya kembali dengan lengkung halus di bibirnya.


Pandanganku beralih pada barang elektronik yang sedari tadi aku genggam. Jemariku sibuk menekan berbagai tombol di layar. Aku kembali membuka folder foto yang sudah ratusan kali aku lihat. Foto bersama keluarga dan teman-teman. Setiap kali aku mulai merasa penat seorang diri, foto-foto inilah yang menjadi pelarianku untuk membunuh waktu. Sebenarnya ini kulakukan hanya agar aku terlihat memiliki kegiatan.  
Setelah foto, kini pesan singkatlah yang menjadi incaranku. Aku sering membaca percakapan yang menarik berulang-ulang. Mungkin bukan percakapannya, melainkan seseorang yang menarik yang berkirim pesan denganku. Tentu saja orang itu adalah Cleva. Aku tidak ingin lagi menyangkal perasaanku. Saat ini aku rindu pada gadis itu.

Aku coba menghubunginya. Tidak satu pun nada sambung yang terdengar. Sudah 5 kali kucoba dengan hasil yang sama. Panggilanku terputus begitu saja. Mungkin handphonenya mati.
Kembali aku amati sekelilingku. Tidak ada yang ingin aku lakukan lagi. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah.

Lonely Winter: Tentang Dia

Minggu demi minggu berlalu. Kini aku sudah duduk di bangku senior SMA. Berarti aku sudah harus mulai  mempersiapkan diri untuk masa depan. Mengurangi waktu bermain dan mulai mengikuti kursus. Inilah yang harus dilakukan seorang murid kelas 3 SMA. Setidaknya itu yang dikatakan guru dan orang tuaku.

Beberapa barang masa kecilku juga mulai tergantikan buku kumpulan rumus yang memenuhi lemari kamarku. Meski tertata rapi, bagiku tetap menyesakkan. Entah kapan aku akan mulai membacanya.




Waktu terasa lambat.  Gadis ceria yang biasa menghubungiku di dunia maya kini perlahan menghilang. Kami masih berkomunikasi hanya saja tidak sesering dulu. Wajar, aku dan Cleva sama-sama sudah ada di tahun terakhir SMA. Aku yakin dia sibuk. Mungkin memang begitu. Mungkin juga karena pertemuan terakhir kami. Aku rasa dia benar-benar menghargai keputusanku untuk menjauh darinya. Tentu saja alasannya pacarku. Ya, pacar khayalanku yang bodoh.

Sejenak aku berpikir. Tujuanku untuk menjauh darinya sudah tercapai. Dia tidak lagi menggangguku dengan cerita kesehariannya yang mengharuskanku berpura-pura bosan. Aku tidak perlu menyimak ocehannya tentang ilmu pengetahuan yang ia baca. Dan aku tidak perlu lagi menemani perempuan itu pergi. Ya, tidak perlu lagi. Dengan begini kami akan semakin jauh. Itu yang aku pikirkan. Tapi apa benar ini yang aku inginkan? Menjauh dari Cleva dengan alasan yang aku sendiri tidak mengerti. Hanya karena sebuah janji.

Komputer di sudut kamar yang menjadi media penghubung aku dan Cleva pun sudah jarang aku gunakan. Akun jejaring sosial Cleva yang dulu selalu aku tunggu berubah menjadi deretan huruf yang tak lagi aku hubungi. Aku tidak lagi melihatnya tertawa atau hanya sekedar tersenyum tipis melalui webcam. Tidak lagi membaca pesan-pesannya yang sering kali membuatku salah tingkah.


Sesuatu yang hilang mengundang sepi yang mulai merajai ruang hatiku yang sempit.  Aku sendirian. 
Tidak ada tempat untuk bercerita. Kepada teman-temanku di sekolah? Mereka tidak akan peduli. Keluargaku pun hanya akan menyuruhku belajar. Pacar khayalan? Apa yang bisa dia lakukan? Cuma imajinasi rendahan yang justru membuatku kehilangan Cleva.



Cleva pernah bilang kalau dia suka sendirian. Menikmati waktu seorang diri. Pergi tanpa tujuan, mengamati banyak hal tak penting atau semacamnya. Apa enaknya begitu? Kalau pun itu hobinya, tetap saja tidak akan menyenangkan bila dilakukan sendiri. Tidak bisa membagi apa yang kita pikirkan dengan orang lain atau bahkan hanya sekedar memiliki teman bicara. Rasanya pasti sepi. Apa Cleva benar-benar menikmati hal semacam ini atau sebenarnya dia  kesepian? 
Kenapa dia kesepian? Bagaimana pun dia pasti memiliki teman. Tapi kalau aku pikir lagi Cleva memang agak berbeda dari kebanyakan orang. Dia terlalu aneh untuk ukuran orang yang baru aku kenal. 
Menuduhku pencuri, memaksaku ikut dengannya, hinga membuat janji itu.


Aku coba menerawang jauh. Tidak ada yang salah dengan kelakuan Cleva. Semua tingkah dan kebiasaan bicara terus terangnya  adalah karena dia memang begitu. Itu yang membuat dia mudah akrab denganku. Bukan hanya itu, dengan sikapnya dia bahkan bisa menumbuhkan rasa yang sering aku salah artikan.
Setengah tahun lebih aku mengenalnya. Waktu yang singkat untuk menyimpulkan sifat seseorang. Tapi bagiku cukup untuk tau tentang Cleva. Dia tidak berubah. Dia masih memberi kabar kepadaku. Walau aku hampir tidak pernah membalasnya.

Puisi yang dia kirimkan di malam aku mengatakan sudah punya pasangan pun masih aku simpan. Tersimpan dalam folder khusus di komputerku bersama foto kami di museum. Hanya sedikit tapi cukup untuk kukenang. Di waktu senggang ku baca kembali bait-bait puisi Cleva.  Mencari tau makna di setiap rangkaian kata. Ada cinta juga air mata. 2 hal yang selalu terpikirkan saat ku ingat malam dimana aku memulai kisah cinta palsu. Jika aku adalah Cleva malam itu pasti aku cemburu

who am i?

Foto saya
i am capriciously semi-multitalented